Hari beranjak petang, namun mendung tipis di langit Cilodong begitu awet. Aku dan para perwiraku masih sibuk di markas. Kami sedang melakukan persiapan untuk kembali ke medan tempur di Timor Timur.
Tak lama kemudian, tiba-tiba saja aku dipanggil menghadap Presiden Suharto. Mendengarnya para perwiraku gembira. Dengan ringan mereka menduga bahwa panggilan dari panglima tertinggi itu berkaitan dengan sangu.
Dalam benak mereka, sangu itu akan berupa uang saku. Mereka semringah. Aku pun sedikit salah tingkah. Tersenyum-senyum sendiri sambil melangkah ke mobil yang siap meluncur menuju rumah Presiden Suharto di Jalan Cendana.
Sepanjang jalan dari Cilodong ke Jalan Cendana, aku terus membawa senyumku. Aku pun mengira panggilan ini berhubungan erat dengan uang saku. Namun, terlepas dari harapan itu, panggilan ini cukup memberiku tempat terhormat sebagai prajurit yang menjunjung tinggi kedudukan Presiden Suharto yang akrab disapa Pak Harto.
Sebagai menantu, aku kerap melihat dari dekat kebiasaan Pak Harto dalam bekerja keras. Pemimpin yang menerapkan disiplin tinggi dan teramat teliti.
Pak Harto bangun sangat pagi. Sekitar pukul 8 pagi, dia akan berada di kantor mengerjakan setumpuk tugas. Siang harinya, dia akan kembali ke rumah untuk sekadar makan siang. Dari Senin sampai Jumat, dia menerima tamu selepas makan malam, namun dia tak pernah lupa menyaksikan siaran Dunia Dalam Berita di TVRI. Setelah itu, dia akan kembali ke ruang kerjanya.
Di rumahnya, ruang kerja Pak Harto terbilang kecil. Meja kerjanya juga kecil. Di meja kerja itu, setiap malam terdapat tumpukan map yang tingginya mencapai 50 centimeter.
Setidaknya, Pak Harto akan membaca 40 map surat. Memberinya disposisi. Dari Minggu malam sampai Jumat malam, dia duduk di meja kerjanya. Bekerja sampai larut malam. Tak jarang sampai pukul dua dini hari. Tidur malamnya hanya berkisar tiga sampai empat jam saja. Tradisi ini berlangsung menahun.
Aku sangat mengagumi tulisan Pak Harto yang selalu rapi. Terkesan oleh daya ingatnya yang begitu kuat. Seorang photographic memory yang mengagumkan.
Pak Harto pun pernah bercerita kepadaku tentang pengalamannya sebagai komandan regu, komandan peleton, komandan kompi, hingga menjadi perwira operasi batalyon. Dia masih sangat jeli saat menguraikan hal-hal praktis. Bahkan pendidikan perorangan masih dia hafal dengan saksama.
Meski sudah berpuluh tahun terpisah dengan tugas militernya, Pak Harto masih bisa menjelaskan secara runut hal-hal menyangkut pembentukan, perekrutan, termasuk pelatihan satuan tentara di tingkat regu, peleton, kompi, dan batalyon.