Lihat ke Halaman Asli

Parlin Pakpahan

TERVERIFIKASI

Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Peluang Kopi Sigarar Utang Dalam Kepariwisataan Toba Dan Pasar Kopi Dunia

Diperbarui: 16 November 2021   14:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kopi Sigarar Utang, Silantom, Pangaribuan, Taput. Foto Parlin Pakpahan.

Peluang Kopi Sigarar Utang Dalam Kepariwisataan Toba Dan Pasar Kopi Dunia

Kopi bagi mayoritas petani di Tapanuli Utara (Taput) atau Tano Batak pada umumnya adalah sumber ekonomi utama setelah padi dan haminjon (kemenyan). Tak perlu diragukan lagi bahwa tanaman kopi tumbuh dan berkembang sangat baik di Tano Batak.

Data dari BPS setempat mengungkapkan luas kebun kopi di Taput adalah 14.934,50 Ha dengan hasil 9755,25 ton per tahun. Perluasan areal perkebunan kopi dalam rangka peningkatan produksi masih terbuka lebar dengan memanfaatkan lahan tidur yang masih sangat luas di daerah ini.

Meski kontribusi kopi cukup besar terhadap PDRB setempat, pada kenyataannya tataniaga kopi belum diatur sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan zaman. Apakah harga kopi di Taput ditentukan pasar? Faktanya, Tidak. Yang jelas, tengkulaklah yang paling dominan dalam perniagaan kopi di Taput dan Tano Batak pada umumnya. Merekalah yang menentukan harga kopi di Pasar. Petani kopi tak berdaya mengatasi harga oligopoli tengkulak ini. Sementara harga sarana produksi seperti pupuk, obat pembasmi hama dll tak kenal ampun. Pupuk bersubsidi? Sangat rentan terhadap manipulasi dan terbukti hanya sebagian kecil saja yang sampai ke tangan petani. Supervisi penyaluran pupuk bersubsidi dari pemerintah yang berwatak abu-abu adalah sebuah harapan yang sangat mahal di Bonapasogit (tano batak) ini.

Dalam posisi tawar yang sangat lemah seperti itu, akhirnya yang terpenting bagi petani kopi Taput adalah kopi mereka dapat terjual kepada para tengkulak, berapa pun harganya. Hanya sebagian kecil saja dari kopi rakyat di Taput yang mampir ke rumah-rumah industri rakyat. Itu pun terbatas dan pengolahannya sederhana sekali. Setelah disortir apa adanya, kopi pun dimasukkan ke alat penggorengan berupa tabung silinder yang diputar manual di atas kayu bakar. Atau lebih banyak lagi yang hanya "disaok" atau digongseng di atas wajan atau kuali. Kemudian setelah digiling halus dengan mesin portabel murahan buatan Cina, kopi rakyat itu dikemas dalam bungkus plastik mulai dari harga Rp 10.000 - Rp 30.000. Dan kemasan itu di bagian penutup cukup dipress dengan api lilin. Apa daya. Peredaran kopi rakyat tak bermerk seperti itu terbatas di daerah produksinya masing-masing. Tak ada standarisasi mutu di sini. Taste produk beranekaragam, meski jenis kopinya sama. Rasa Kopi Sipoholon akan berbeda dengan rasa Kopi Sipahutar. Rasa Kopi Pangaribuan akan berbeda dengan Kopi Siborongborong dst. Siapa yang unggul? Tidak ada. Itulah kopi rakyat rumahan.

Biji Kopi Sigarar Utang, Bersih Semi Wash, Onan Pangaribuan, Taput. Foto Parlin Pakpahan.

Tata Niaga Kopi dan Letak Geografis

Melihat kenyataan bahwa kopi adalah salah satu sumber ekonomi utama di Taput setelah padi dan kemenyan, maka tantangan utama saat ini bagi siapa pun di Bonapasogit adalah menata kembali tataniaga kopi. Regulasi yang diperlukan tentu adalah regulasi yang dapat memulihkan posisi tawar para petani. Ini tantangan tersendiri bagi pemerintah setempat dan bagi siapapun yang perduli perniagaan kopi tano batak di pentas daerah maupun nasional.

Letak geografis Taput yang beribukota di Tarutung sesungguhnya tidaklah menjadi masalah. Tarutung, jelas pintu depan sentra produksi kopi Taput untuk Kawasan Pantai Barat dan Pantai Timur Sumatera Utara. Ke arah pantai timur menuju Medan telah ada kota niaga Pematang Siantar yang dapat menjembatani Tarutung-Medan. Kawasan Pantai Barat telah ada Sibolga alih-alih pelabuhan Barus tempo doeloe. Yang sedikit masalah menuju pantai barat hanyalah terowongan penghubung Tarutung-Sibolga yang disebut Batu Lubang, tepatnya di Kecamatan Sitahuis, Tapanuli Tengah. Ini masalah yang sebetulnya tidak terlalu sulit diatasi, karena hanya pelebaran terowongan agar katakanlah 2 truk niaga besar bisa berselisih jalan. Terowongan itu ada 2 buah pada bukit batu yang berdampingan, masing-masing panjangnya 8 dan 10 meter. Total 18 meter. Tidaklah tepat kalau ada pendapat yang mengatakan letak geografis seperti ini tidak menguntungkan. Sejak missionaris Nommensen masuk ke tano batak 150 tahun yang lalu pun, Tarutung telah menjadi pusat niaga di tano batak. Jadi tak ada yg perlu dipermasalahkan dengan letak geografis kota Tarutung ini.

Memutus rantai masalah

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline