Lihat ke Halaman Asli

Parhorasan Situmorang

Petualang waktu yang selalu memberi waktunya untuk menginspirasi generasi muda.

Profesor Romo Mangunwijaya

Diperbarui: 25 November 2018   09:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Romo Mangunwijaya seorang cendikiawan Indonesia. (Foto: dok. pribadi)

Dari semula Romo Mangunwijaya tidak berkeinginan mencapai gelar doktor. Terlihat ketika dia lebih memilih menjadi pastor praja daripada menjadi Jesuit. Dalam sebuah wawancara dengan majalah Forum Keadilan edisi 4 Agustus 1994, dia mengatakan, “Saya memang pernah ditarik-tarik untuk menjadi Jesuit, tetapi saya tidak tertarik. Saya tahu kalau menjadi Jesuit saya harus mencari gelar doktor.”

Mangunwijaya tentu telah merenungkan sikap ini. Dari jejak proses kreatifnya terbaca dia lebih ingin menggunakan masa-masa hidupnya untuk langsung berkarya mengabdi, bukan duduk berlama-lama berlebih-lebih di bangku kuliah. Biaya untuk itu bisa digunakan bagi yang lebih membutuhkan. Dia menganggap ilmu strata 1 dari Seminari Tinggi Kentungan plus ilmu strata 2 Arsitektur dari Achen Jerman sudah sangat cukup untuk ikut mengubah wajah dunia, mewujudkan dedikasinya “Saya Ingin Membayar Utang Kepada Rakyat”. Dia memahami masyarakat luar kampus lebih membutuhkannya dibanding dunia dalam kampus.

Meskipun dia bukan doktor, karya-karya besar arsitekturnya tidaklah kalah dari karya seorang doktor. Bukan cuma masterpiece sebatas bidang arsitektur, bahkan di banyak matra dia menghasilkan mahakarya, baik karya sastra, karya kemanusiaan, maupun pemikiran dalam puluhan buku dan ratusan artikel plus sikap pribadinya yang role model bijaksana, sebenarnya dia sudah mencapai level guru besar. Romo Mangun memang sang mahaguru, dia profesor. Di bidang arsitektur, misalnya, selain bangunan rancangannya mendapat penghargaan internasional, buku-bukunya mendapat perhatian luas. Buku Wastu Citra dan Pasal-Pasal Pengantar Fisika Bangunan dianggap merupakan puncak karyanya dalam dunia akademis. Di kalangan mahasiswa arsitektur buku Wastu Citra menjadi sebuah buku yang wajib dibaca.

Andy Siswanto, salah seorang doktor arsitek senior Indonesia menuturkan, “Wastu Citra sebuah buku terbaik dalam bidang arsitektur yang pernah diterbitkan di Indonesia, dan barangkali salah satu yang terbaik yang pernah dikarang dalam dunia teks arsitektur. Melalui buku ini, Mangunwijaya membuktikan dirinya sebagai seorang arsitek Begawan yang sangat artistik sekaligus intelektual, membawa kita ke dunia filsafat, sejarah, teori, kritik, dan pendidikan arsitektur secara serentak, melalui pendekatan arsitektur fenomologi yang khas Y. B. Mangunwijaya. Fenomologi dalam karya Mangunwijaya terbukti bukan sekedar permainan bahasa. Ia menjadi sebuah metoda berpikir, a way looking at things (karya/obyek arsitektur).”

Guru besar Universitas Hasanuddin Makassar, Prof. S. M. Noor dalam tulisannya Sisi Lain Profesor: Kreatif dan Inovatif yang dimuat di Tribunnews.com sempat menyebut nama Mangunwijaya dengan embel-embel profesor insinyur (akademis). Namun sejauh saya menelusuri banyak sumber literatur yang saya miliki ditambah searching di internet tidak menemukan data perihal profesor dalam pengertian akademis itu. Saya pikir Romo Mangun sejak jauh-jauh hari tidak menginginkan itu. Salah satunya terkonfirmasi oleh sikapnya yang malah memutuskan mengundurkan diri sebagai dosen di Universitas Gajah Mada.

“Arsitek untuk orang kaya sudah banyak. Sedangkan arsitek untuk orang miskin belum ada. Saya mau menjadi arsitek untuk orang miskin. Saya akan menangani bidang-bidang yang jarang orang mau.” Romo Mangun menjelaskan alasannya. Penyikapan seperti ini menguatkan alasan bahwa Romo Mangun pas menyandang gelar mahaguru, profesor. Ketika dia lebih mengedepankan karya nyata berdampak manfaat besar bagi masyarakat.

Jelas Romo Mangun tidak ingin disebut profesor. Sebagaimana dulu, ketika didorong-dorong membuat otobiografi, Romo Mangun tidak mau. Alasannya, dia tidak ingin menceritakan diri sendiri, nanti tampak menyombongkan diri. Pun ketika ada panitia yang ingin menerbitkan buku tentang dia, Romo Mangun memberi catatan, “Ya, asal usaha ini tidak menjadi kultus individu. Karena yang penting itu bukan saya, tetapi rakyat kecil yang harus diperhatikan.”

Buku yang diterbitkan itu memang bukan untuk mengkultusindividukan melainkan sebagai sumber inspirasi bagi pembaca. Romo Mangun mampu ‘melarang’ dirinya sendiri untuk tidak menulis otobiografi. Namun dia tidak sanggup melarang para sahabatnya, para fansnya untuk menulis buku tentang dirinya. Serupa halnya, Romo Mangun juga tidak mampu melarang ketika kita mengapresiasi dirinya sebagai Sang Mahaguru. Mahaguru yang digugu lan ditiru murid-muridnya.

Romo Mangun memiliki banyak murid. Dia penuh ketulusan mengajar para muridnya, baik yang secara langsung bertatap muka dan lebih banyak lagi murid yang tidak pernah bertatap muka dengannya. Dia guru hakiki, murid-muridnya belajar dengannya bukan belajar darinya. Romo Mangun menjadi “Multatuli” bagi banyak muridnya. Multatuli adalah sosok yang tidak pernah bertatap muka dengan Romo Mangun karena berbeda zaman sekitar ¾ abad, namun Romo Mangun menganggap Multatuli sebagai salah satu gurunya, yang mengajarinya menulis melalui buku Max Havelaar karya Multatuli. Anak-anak muda sekarang pun, meski tidak bertatap muka langsung, banyak yang berguru kepada Romo Mangun melalui bangunan-bangunan arsitektur, buku-buku karyanya, dan saluran Youtube, bahkan via Google sang perpustakaan terbesar di dunia yang buka 24 jam.

Dia manusia intelektual sebagaimana seharusnya intelektual: memiliki kecerdasan dan 'cerdas menggunakan kecerdasannya' itu, intelektual yang tidak menyimpan kecerdasannya di menara gading. Karena seorang guru tidak akan meletakkan diri dan kecerdasannya di menara gading. Romo Mangun tidak sekedar berwacana di awang-awang melalui teks, dia turun tangan turun kaki mendaratkan teksnya memasuki konteks. 

Semasa hidupnya dia secara langsung mendampingi masyarakat marginal di sejumlah daerah. Royalti dari buku-bukunya yang dicetak ulang berkali-kali tidak dinikmati sendiri, dia menggunakan untuk mendanai kegiatannya. Dia memberi bea siswa bagi banyak orang dengan filosofinya jangan pagari rumahmu dengan beling tetapi pagarilah dengan piring! Banyak orang yang menerima pagar piring dari Romo Mangun.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline