Lihat ke Halaman Asli

Ouda Saija

TERVERIFIKASI

Seniman

Cyber-Sastra dan Fenomena Gunung Es

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Musim panas sangat terik. Saya tadinya mau bersepeda ke perpustakaan untuk mengerjakan tugas. Karena terlalu panas saya jadi malas. Saya malah membuka Kompasiana lagi dan saya menemukan tulisan Gibb tentangtriks menulis fiksi yang menarik, maka saya beride melanjutkan tulisan tentangCyber-sastra Kompasianakemarin.

***

iceberg (sumber lih. referensi)

Ernest Hemingway penulis yang memenangkan hadiah Nobel lewat karyanya “For Whom the Bells Toll” adalah salah satu penulis yang saya sukai. Mulai bulan Januari yang lalu saya bekerja sebagai voluntir di Rumah tempat kelahiran Hemingway. Saya menemukan berbagai fakta menarik dan juga gossip menarik tentang Hemingway dari materi bacaan yang ada di rumah itu dan juga dari para voluntir lain.

Ketika bertugas minggu yang lalu saya membuka-buka manual menjadi pemandu di Rumah Lahir Hemingway dan saya menemukan sebuah kutipan yang menarik. Kutipan tersebut berbunyi begini:

“I always try to write on the principle of the iceberg. There is seven eights of it under water for every part that shows. Anything you know you can eliminate and it only strengthens your iceberg. It is the part that doesn’t show” (Ernest Hemingway, From an interview with George Plimpton in the Paris Review c. 1954).

Kalau saya terjemahkan bebas kira-kira menjadi begini:

“Saya selalu mencoba menulis memakai prinsip gunung es. Ada tujuh delapan bagian yang berada di bawah permukaan dari yang muncul. Segala sesuatu yang anda ketahui bisa dihilangkan dan itu akan semakin menguatkan gunung es anda. Itulah bagian yang tidak tampak.”

Hemingway memang mendahului jamannya. Ketika fiksi pertamanya dipublikasikan, orang tuanya dikirimi oleh penerbit. Bukannya senang dan gembira karya anaknya dapat terbit mereka malah merasa malu. Dengan sopan mereka membungkus kembali buku itu dan mengirimkannya kembali kepada penerbit dengan sebuah catatan “Kami tidak membaca bacaan yang tidak sopan.”

Karya Hemingway yang lugas dengan bahasa yang singkat dan padat mendobrak tradisi penulisan gaya fiksi yang mbulet dan berbunga-bunga. Dia menenggelamkan atau menyembunyikan apa yang dia ketahui di bawah air, seperti gunung es. Semakin besar yang tersembunyi di bawah air, semakin berbahayalah gunung es tersebut.

Gaya penulisan iceberg inilah yang menduhului jamannya, dan menurut saya sangat cocok dan sesuai dengan jaman kita, jaman digital. Sastra digital lebih pas ditulis dengan gaya iceberg. Biarkan yang sudah kita ketahui dan juga pembaca ketahui di bawah permukaan, di dalam alam bawah sadar pembaca.

Eksplorasi saja sesuatu yang kecil, runcing, tajam, mengancam,dan munculkan dipermukaan untuk dinikmati oleh pembaca. Sisanya serahkan pada pembaca. Mengapa?

Jaman digital adalah jaman serba cepat, singkat, dan padat. Pembaca tidak punya banyak waktu untuk bertele-tele. Amati saja Kompasiana. Berapa tulisan baru yang muncul setiap menitnya? Sangat banyak. Jadi fiksi yang muncul harus seperti iceberg. Bisa dibaca sekilas, tajam, memberi impact, dan pembaca tahu ada makna yang besar tersembunyi di bawah permukaan, jauh lebih besar dari apa yang tampak di permukaan.

Jadi kalau anda suka menulis fiksi, selamat memahat iceberg di Kompasiana.

Berikut ini adalah sebuah video tentang betapa dunia kita sangat-sangat cepat berubah. Kalau fiksi kita tidak mau ketinggalan jaman, maka bentuknyapun harus berubah.

Selamat berakhir pekan. Selamat membaca fiksi-fiksi Kompasiana.

*****

Sumber gambar: http://www.arch.mcgill.ca/prof/sijpkes/ice-lecture/iceberg2.jpeg




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline