Lihat ke Halaman Asli

OtnasusidE

TERVERIFIKASI

Petani

Memilih Bebas Anak

Diperbarui: 1 Oktober 2021   08:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: OtnasusidE

Bebas anak adalah komitmen dua manusia dalam sebuah perkawinan untuk tidak memiliki anak.  Perkawinan untuk menikmati hidup berdua tanpa adanya gangguan dan kepeningan mengurusi popok, mendidik formal dan nonformal, internalisasi moral dan budaya keluarga serta masyarakat.

Memilih bebas anak adalah pilihan. Bebas anak adalah keputusan. Orang hanya bisa mencibir atas keputusan berdua. Keputusan yang bisa saja berubah atas kesepakatan bersama. Tentu seperti surat pernyataan yang sering dibaca terbaca kalau surat dibuat dengan kesadaran dan tanpa ada tekanan dari pihak manapun termasuk dari pasangan, suami/istri.

Nyeleneh, aneh, bisa jadi. Orang kawin kok tidak ingin punya keturunan. Begitulah hidup bermasyarakat. Keputusan yang diluar pakem terkadang menyakitkan kuping karena digunjingkan. Apakah salah satu dari mereka ada yang mandul? Gunjing bergunjing dalam tulisan ini bukan panganan guncing tetapi topik sesuatu yang ditambahi bumbu penyedap yang bikin pergunjingan makin lama makin sedap.

Memilih bebas anak itu berat. Ibarat kata, waktu jomblo ditanya kapan kawin?  Sudah kawin pasti akan ditanya kapan punya anak? Setelah punya anak, sudah punya mantu belum? Sudah tua rambut ubanan akan ditanya cucunya berapa?

Kekasihku suatu waktu ketika beristirahat dari rutinitas pernah bilang. "Seandainya aku tidak bisa memberimu anak maka kau kubebaskan untuk menceraikan aku! Pilihlah perempuan yang bisa memberimu anak untuk melanjutkan keturunanmu!".

Speed boat yang melaju kencang di Pantai Timur Sumatra, di belakang Puskesmas seperti tak terasa. Ombak susulan yang menghempas kayu-kayu belakang Puskesmas hanya menampar muka dengan halus yang memerah. Mulut terkunci. Kuncinya entah di mana.

Kekasihku yang sering kusebut Kaki Kupu Kupu pun mentoel muka yang sedang menatap kosong kejauhan Selat Bangka. Kalau tidak ditoel barangkali tubuh kosong ini  sudah mengapung sampai ke Pulau Bangka.

Sore itu kami berdua kembali ke depan dan ternyata sudah ada seorang ibu yang sedang terbaring lemah di kamar persiapan melahirkan. Bidan sudah mempersiapkan peralatan dan bersama Kaki Kupu Kupu pun mereka dan seorang perawat membantu persalinan.

Tiga bulan kemudian kami mengunjungi Posyandu yang harus dicapai dengan speedboat. Satu jam perjalanan untuk sampai ke dermaga desa. Seorang perempuan dengan bayinya terlihat sumringah menyambut rombongan. Setiap satu bulan sekali pihak Puskesmas (bisa diwakili siapa saja) selalu mengunjungi Posyandu di wilayah kerja. Selain untuk memberikan penyuluhan kesehatan, juga untuk memberitahu program vaksinasi ataupun memberi makananan tambahan dari Dinkes kabupaten.

Kaki kupu-kupu terlihat gembira dengan bayi yang dibantunya tiga bulan lalu. Satu hadiah bando warna biru muda ditempelkan ke kepala si bayi. Kaki kupu-kupu seakan-akan tak mau melepaskan si balita itu dari gendongannya. Waktu meninjau dari satu meja ke meja lain di Posyandu, bayi itu tetap digendongnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline