Lihat ke Halaman Asli

Ananto W

saya orang tua biasa yang pingin tahu, pingin bahagia (hihiHI)

Bank Vs Tekfin

Diperbarui: 13 Maret 2018   09:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

http://unibecarios.mx

"Banking is necessary, banks are not"(Bill Gates -- 20 tahun lalu)

Tahun 1998 lalu industri perbankan Indonesia diselamatkan dengan menguras kekayaan negara setara lebih dari 650 triliun. Tanpa penyelamatan itu kepercayaan publik dan global kepada NKRI akan runtuh. Perbankan saat itu keropos karena dibebani kredit macet dan krisis likuiditas kemudian berimbas menjadi krisis ekonomi. Perbankan dikonsolidasi dari 250an terus menyusut menjadi 115 saat ini.

Dalam krisis 1998 terbukti sektor informal tetap hidup. Sektor itu diperkirakan mencakup 65% dari tenaga kerja (Sakernas BPS). Tetapi jauh setelah krisis penyaluran kredit kategori UMKM masih berkisar 18% dari kredit perbankan (2016) yaitu sebesar Rp 802 T. Jumlah itu masih dipandang rendah. Fungsi intermediasi bank ke sektor ekonomi lemah sangat kurang. Muncul pertanyaan apakah bank kurang berminat terhadap sektor itu.

Sementara itu bank memperoleh spread  sukubunga yang tinggi dalam waktu yang lama. NIM perbankan Indonesia tertinggi di ASEAN sekitar 5,3% yang oleh regulator dibilang akan diusahakan menjadi 3-4%. Bank juga dibilang belum efisien, masih dibebani BOPO 82%. Maka sukubunga satu digit menjadi isu.

Kritik terhadap bank yang tidak 'pro usaha kecil-menengah' seolah mendapatkan jawaban dari disrupsi digital yang berpotensi mengubah ekonomi. Bank selama ini tidak bisa hidup tanpa Teknologi Informasi Komunikasi (TIK). Sistem utama Bank dibantu oleh perangkat keras dan perangkat lunak secara masif. Saluran distribusinya juga.

Sistem inti bank yang digunakan selama ini kaku, sulit untuk diubah tanpa biaya yang besar. Jadinya TIK yang lebih gesit dan berkembang pesat menjadi ancaman jasa bank. Pesaing tidak diduga datangnya dari raksasa seperti Google, Amazon, Facebook, Apple dan Microsoft (GAFAM) yang disebut juga bigtech  yang  mempunyai kemampuan perbankan. 

Kemampuan itu terutama dalam fungsi retil dalam pembayaran dan setlemen. Mereka bisa menjalin hubungan dengan nasabahnya tanpa melalui bank. Fungsi intermediasi bank dipotong. Jadi pertarungan bank dengan tekfin berada pada pemenangan menarik nasabah (customer relationship). Sasaran Tekfin beririsan dengan bank yaitu diperkirakan 70% menyasar segmen individu dan SME (Citigroup 2016).

Contoh kecil saja, orang menaruh uang di sistem GoJek dan bertransaksi dengan GoJek. Jadi bank tidak digunakan lagi.

Tekfin versi sebelumnya berkisar di ranah komunikasi dan pemrosesan transaksi. Sekarang ini yang versi 3.0 (2008) sudah berubah ujud menjadi start up produk dan jasa keuangan ke publik.

Menurut Bank Indonesia ada empat kategori utama Tekfin yaitu (1) pembayaran, kliring, setlemen; (2) tabungan, pinjaman dan kebutuhan permodalan; (3) market provisioning; serta (4) investasi dan manajemen risiko. Pangsa aktivitas Tekfin di Indonesia pada tahun 2016 didominasi sebesar 56% oleh kelompok pertama. Kemudian, berdasarkan data Statista, pada tahun 2016 nilai transaksi Tekfin di Indonesia diperkirakan telah menembus angka USD 14,5 Miliar. Wow!

Dari jenis Tekfin kategori pertama itu OJK mengatur penyelenggaranya antara lain wajib menyediakan escrow accountdan virtual accountdi perbankan serta menempatkan data centerdi dalam negeri. Guna melindungi kepentingan stabilitas sistem keuangan nasional, jumlah pinjaman dibatasi maksimal Rp2.000.000.000,- dalam mata uang Rupiah. Hingga Januari 2016, Asosiasi Tekfin Indonesia mencatat pelaku start-up Financial Technology (Tekfin) domestik yang beroperasi di Indonesia telah mencapai 165 perusahaan, atau tumbuh hampir mencapai 4 (empat) kali lipat dibanding Q4-2014 sebanyak 40 perusahaan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline