Lihat ke Halaman Asli

Krisis Kesenian Betawi

Diperbarui: 26 Juni 2015   03:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sepengamatan saya, pelajaran seni/kesenian turut diajarkan dalam sekolah2 setaraf SD dan SMP. Entah menjadi kurikulum wajib ataupun extra kurikuler.

Kalau ada yang meragukannya, saya justru melihat bahwa permasalahannya adalah "Jakarta", si ibukota kita yg notabenenya mengusung kesenin betawi sebagai identitas lokalnya. Saya tidak menohok kesenian  betawi, tetapi popularitasnya terasa perlu lebih didukung lagi oleh kaum muda.  Coba saja, mencari seseorang di lingkungan kita yang fasih menarikan Tarian Betawi, mungkin bisa menjadi tantangan yang cukup sulit.

Akar kesenian panggung Betawi yang malah lebih populer. Tapi, apa mudah mengajarkan Topeng Betawi di sekolah-sekolah? Bagaimana kalau Gambang Kromong? Belum populer juga.

Maka tak heran bila kaum muda Jakarta terlihat kurang punya akses (baca: minat, niat) ke kesenian betawi. Sudah pernah melihat pembacaan berita berbahasa dan logat Betawi di salah satu Televisi Swasta? Persepsi kita bisa bermacam-macam, bukan?

Masalahnya, Jakarta adalah miniaturnya Indonesia. Diskusi-diskusi kesenian yang ada kerap mengemukakan tentang  seni budaya daerah yang masih tumbuh subur, di lain sisi kacamata Jakartalah yang dipakai dalam berdiskusi di media publik.  Padaha, Jakartalah yang bermasalah dengan keseniannya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline