Lihat ke Halaman Asli

Okti Nur Risanti

Content writer

Keruntuhan Sosial dan Pelajaran dari Meniadakan Tuhan

Diperbarui: 14 Juli 2022   06:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi gambar gereja kosong (Unsplash -- Andrew Seaman)


Ada satu artikel menarik berjudul The Ultimate Sign of American Collapse yang saya temukan saat tengah mencari berita tentang resesi di Amerika Serikat. Bukannya membahas tentang kejatuhan Amerika Serikat dari segi politik, ekonomi, atau resesi yang tengah ramai diberitakan, artikel tersebut justru membeberkan pandangan penulis tentang tanda-tanda keruntuhan sosial yang terjadi di negara adidaya tersebut, terutama dengan peristiwa penembakan massal yang marak terjadi di sana.

"Mass shootings --- ultra regular ones, more than one a day --- are a sign of social collapse." Penembakan massal --- yang sangat biasa (terjadi), lebih dari satu kali sehari --- adalah tanda keruntuhan sosial. Artikel lebih jauh kemudian menguraikan deretan fakta yang menjadi akar masalah dari keruntuhan sosial AS. 

Salah satu pandangan menarik yang disebutkan dalam artikel tersebut adalah pernyataan bahwa Amerika tidak lagi memiliki norma yang melawan kebencian. Umair Haque, si penulis berkata, "Biasanya, setidaknya dalam masyarakat yang berfungsi, kebencian tidak benar-benar diizinkan. Ada hukum yang menentangnya, dan hukum itu menjadi norma. Anda tidak bisa begitu saja melecehkan orang. Tapi, di Amerika, itu berbeda. Di bawah kedok "kebebasan berbicara," pihak sayap kanan telah membuat kefanatikan dan prasangka dan supremasi menjadi suatu hal yang normal kembali." 

Penulis juga menyebutkan bahwa budaya ketidakpedulian di Amerika telah menjadi pemandangan umum, sehingga orang-orang bahkan tidak lagi peduli untuk memberikan minum kepada tunawisma yang membutuhkan. Kedua fenomena tersebut, kebencian dan sikap cuek, merupakan gejala dari kehancuran sosial, hilangnya modal sosial secara total dan dahsyat.

Sesudah membaca artikel tersebut, saya lega menjadi warga negara Indonesia. Untunglah, masyarakat kita tidak seperti itu. Tidak ada kasus penembakan massal di sini. Tidak ada kebencian merajalela, dan kita masih peduli satu dengan yang lain. 

Tapi, tunggu dulu. Mengapa perasaan lega itu kemudian menguap ketika saya teringat pada beberapa hal yang terjadi di negeri ini.

Benarkah kita, tidak seperti Amerika Serikat, masih memiliki norma yang melawan kebencian? Benarkah masih banyak orang di negeri kita yang bersedia untuk peduli, tidak cuek, dan saling membantu?

Memang, penembakan massal tidak menjadi fenomena di sini. Tapi, bagaimana dengan ujaran kebencian yang marak terjadi di media sosial, kasus-kasus intolerasi bernuansa kebencian atas nama SARA yang masih selalu terjadi, atau kasus bullying yang makin kerap kita dengar terjadi di berbagai lingkup masyarakat?

Kita mungkin masih peduli pada fakir miskin dan anak-anak terlantar seperti kata UUD'45. Tapi, apakah benar kita bukan masyarakat yang cuek, saat kita melihat orang masih membuang sampah sembarangan di mana-mana? Saat hutan, laut, sungai, gunung, dan lingkungan di sekitar kita makin rusak atas nama kepentingan ekonomi? Atau, saat tetangga yang tidak lagi saling mengenal menjadi situasi yang semakin umum dan biasa?

Kita memang bukan Amerika Serikat, dan apa yang terjadi di sana sekarang, memang tidak kita alami di sini. Namun, seiring dengan perkembangan zaman dan waktu, bukan tidak mungkin kita mengalami situasi yang sama, jika kita tidak mau belajar dari apa yang sudah mereka jalani dan alami.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline