Lihat ke Halaman Asli

Nuzulul Nasoihul

Jangan Lupa Bersyukur

Dadio Wong Kang Pangerten Marang Sepadane

Diperbarui: 25 Maret 2021   10:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Sekitar tiga tahun yang lalu, disaat saya mulai masuk pondok yang mayoritas penduduk sekitarnya adalah orang Madura, tentu saja perlu adaptasi kembali bagi orang-orang baru seperti saya disana. Karena nyaman tidaknya seseorang di suatu lingkungan yang ia tinggali tergantung bagaimana cara ia terlebih dahulu melakukan adaptasi. Saya pernah merasa seasing itu saat pertama masuk pondok, meskipun ada beberapa dari teman baru saya yang juga asli dari keturunan jawa. Hal ini menjadi dorongan bagi saya sendiri untuk mencari pengalaman tersendiri mengenai perbedaan yang ada diantara saya dan teman-teman saya lainnya yang asli keturunan dari suku Madura. 

Seringkali merasa tidak faham dengan kata-kata ataupun sikap mendasar dari masing-masing mereka membuat saya berpikir bahwa alangkah lebih baik jika saya sendiri yang mencoba untuk lebih dekat dengan teman-teman saya yang lain. Apalagi melihat lokasi pondok yang memang berada di kampong orang-orang Madura, sudah passti beberapa  dari ustad atau  guru saya pun juga berasal dari kalangan orang-orang itu sendiri. Rasa takut atau waswas ketika diajar oleh beliau-beliau juga sering menghantui saya ketika dipesantren lalu. 

Melihat penampilan atau ekspresi yang bisa dikatakan jauh berbeda dengan orang orang jawa pada umumnya, menurut saya beliau tampak lebih tegas juga gampang marah ketika ada salah satu dari santrinya yang berbuat kesalahan. Hal ini saya rasakan hanya ketika saya belum akrab sama sekali dengan beliau atau ketika memang saya belum tahu sama sekali mengenai orang Madura itu seperti apa lebih jelasnya.
Selain daripada mencoba mengakrabi teman satu pesantren, saat itu saya juga berusaha bagaimana caranya agara saya bisa lebih dekat dengan guru-guru saya sewaktu mondok. 

Hal seperti ini saya mulai dengan mencoba membantu beliau sedikit demi sedikit dari hal-hal yang sesederhana  mungkin, juga seketika melihat beliau berbincang-bincang dengan teman-teman senior di pondok, sesekali saya juga ikut bergabung dalam hal itu. Sungguh tak disangka awalnya, ketika ada salah satu dari guru saya yang kemudian merasa cocok dengan saya dan beberapa santri senior di pondok tentunya. Hingga kemudian saa dan teman saya seringkali di ajak oleh beeliau ke rumahnya meskipun hanya sekedar ngopi atau sharing-sharing mengenai pengalaman atau cerita lainnya yang memang menarik u ntuk dibahas. 

Dalam konteks pembicaraan seperti inilah beliau terkadang menyelipkan beberapa nasihat atau pelajaran kepada saya dan teman-teman saya, meskipun bukan sebuah konteks mengenai pelajaran yang ada hubungannya dengan agama tapi menurut saya sendiri, pelajaran-pelajaran sepeerti inilah yang kemudian membuat saya sendiri terutama merasakan atas apa yangt sebelumnya pernah disampaikan oleh guru saya di pondok kepada saya dan teman-teman lainnya  saat itu. 

Suatu ketika beliau pernah berkata " Sok, nek riko wess metu tekan pondok, pinter utowo nggetuh masalah ngaji tok kui ra cukup ngger !! Wong urip iki kudu nduweni akhlak sing becik khususe cah pondok koyok riko-riko kabeh iki, lebih-lebih opo sing riko oleh tekan pondok saiki isoh ngewehi manfaat marang wong liyo. Soale jamanmu saiki, wess bedo karo jamanku mbiyen ngger, riko angger metu tekaan pondok kudu berner bener pinter masalah agomo, tapi nek saiki ora ono anggone riko pinter masalah agomo tapi awak e riko kabeh ora nduweni laan nerapake toto kromo. Wong pinter kui akeh ngger, anging sing nggawe wong liyo nganggep wong kui becik ora e kui didelok soko toto kromone sabendino. 

Mulo pesenku dadio wong sing nduweni akhlak sing becik, syukur angger riko dadi wong becik tur ngerti masalah agomo iku luwih bagus ketimbang riko pinter masalah agomo tapi ora nduwe akhlak lan toto kromo marang wong liyo". Dari pessan beliau inilah saya merasakannya saat ini. Menurut saya memang benar apa yang dikatakan oleh beliau saat itu dan memang pada faktanya hal-hal semacam ini baru kita rasakan ketika kita selaku seseorang yang pernah nyantri atau mondok sudah keluar dari pesantren dan mulai terjun ke masyarakan dan dunia luar. Banyak sekali fenomena yang keraap kali saya temui pada orang-orang luar pada umumnya. 

Beberapa orang mungkin sempat terkagum akan kemampuan orang lain yang di miliki akan tetapi penilaian setiap orang mengenai orang lain pada dasarnya tidak hanya sebatas kemampuannya saja, mungkin kemampuan memang menjadi objek yang ada pada seseorang tentunya apalagi dalam dunia lapangan kerja, akan tetapi  jika seseorang itu mempunyai kemampuan yang bagus tetapi tidak disertai akhlak atau tata karma yang baik, membuat orang itu sendiri tidak akan dianggap baik oleh orang lainnya meskipun dalam sebuah konteks dunia kerja atau konteks bermasyarakat, seseorang yang cenderung lebih mendasar kemampuannya akan tetapi orang itu mempunyai aklah dan tata karma yang benar-benar bagus tentunya lebih disukai oleh orang-orang lainnya. 

Karena dari fenomena seperti inilah yang kemudian bisa membuat saya dan teman-teman pembaca semua belajar bagaimana agar kita senantiasa mampu menjadi seseorang yang memiliki budi pekerti kepada orang lain, memiliki akhlak yang baik, sopan santun kepada orang lain terutama orang yang baru kita kenal baik dalam konteks sekolah ataupun dunia kerja, lebih-lebih jika kita selaku orang tersebut juga mempunyai kemampuan baik dibidang pengetahuan umum ataupun pengetahuan agama. Seperti kata-kata orang jawa yang seringkali kita dengar yakni "Dadi Wong Kang Pangerten Marang Sepadane"




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline