Lihat ke Halaman Asli

Nuzul Mboma

Warna warni kehidupan

Cerpen | Alunan Suara Terompet

Diperbarui: 23 Desember 2019   12:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

9gambar.blogspot.com

Aku lahir dan dibesarkan di lingkungan militer. Dulu, ketika guru di sekolah bertanya ke semua murid, kalau besar bercita-cita jadi apa? Aku paling pertama yang menjawab lantang ingin jadi tentara bu guru. Masa kecil dulu ketika Kakekku sehabis menerima gaji pensiun, Aku sesekali di-beli-kan susu dancow. Selain gembira, yang membuatku berseri-seri ialah saat mendapat hadiah buku dongeng terbungkus plastik yang menempel di belakang kotak susu.

Sekali-kali juga, kalau Kakek mempunyai uang sen atau sehabis kusemir sepatu laras hitamnya, ia menggendongku riang gembira di punggungnya menuju gerobak penjaja majalah di tepi jalan guna membeli majalah bobo. Alangkah senangnya Aku membaca buku dongeng dan majalah bobo. Seingatku, terakhir kali kubaca kumpulan buku itu saat menginjak kelas tiga sekolah menengah pertama.

Waktu itu sering kubaca dalam sebuah cerita dongeng; Kokok ayam jantan akan membangunkan manusia di muka bumi dari tidurnya di pagi hari. Tapi Aku katakan, cerita itu tidak berlaku untuk penduduk asrama. Biasanya Aku atau warga disini bukan dibangunkan kokokan ayam jantan melainkan suara terompet berirama sayup yang menyentuh gendang telinga.

Nyaris saban pagi terompet itu terngiang. Aku selalu bertanya-tanya mengapa selalu terdengar tiupan terompet bertalu-talu dari kejauhan. Dan Kakek menimpali, "Oh, itu suara terompet dari dirigen Korps Musik Angkatan Darat. Tiap pagi seperti itu, meniup terompet selama beberapa menit. Biasanya latihan sebelum apel pagi."

Adakalanya sebelum berangkat ke sekolah pukul tujuh tigapuluh, Aku berjemur diri di teras rumah membiarkan kulitku disapa mentari pagi yang menyembul pelan dari timur jauh. Kulit terasa hangat di sela-sela suasana pagi yang masih terasa sejuk bau embun. Rumahku berada di posisi strategis berhadapan muka lapangan voli asrama yang juga berfungsi sebagai jalur lalu-lalangnya para manusia. Aku biasa melihat satu-satu warga memulai aktifitasnya.

Guru dengan seragam cokelat menenteng tas berjalan kaki menuju sekolah inpres ke arah utara asrama. Bocah-bocah sekolah dasar berlenggak-lenggok ke sekolah dengan bedak cussons baby menempel di wajahnya. Selain itu, terlihat juga para prajurit berpakaian loreng hijau kelabu, bersepatu laras hitam pekat.

Kebanyakan kulihat mempunyai tanda garis merah-merah di seragam lengan kirinya saat berangkat kerja. Semua bergegas, seiring dengan hilangnya suara terompet tadi. Orang-orang yang melintas di depan rumah nampak meninggalkan jejak di tanah yang masih sembab. Sepatu guru, anak sekolah, prajurit dan manusia-manusia lainnya.

***

Kukubur dalam-dalam hasratku menjadi tentara karena posturku tidak memenuhi syarat. Ditambah gigi depanku patah, terjatuh sehabis belajar mengemudi sepeda motor. Lenyap sudah cita-cita itu dan kuputuskan untuk kuliah. Menginjak bangku perkuliahan, kurasa mata pelajaran semakin bertumpuk dan sangat asing kudengar. Kalau dulunya Aku akrab dengan penjaskes, muatan lokal atau Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan.

Kini, Aku di suguhi pelajaran tentang teori kesusatraan, sastra indonesia, dasar-dasar politik, sejarah dan sederet mata kuliah lainnya. Suatu hari di awal bulan oktober Aku dibuat tercengang saat seorang dosen berkata. "Angkatan darat dulu memiliki masa lalu kelam. Banyak manusia dibantai, dijebloskan ke penjara dan rumah-rumah orang PKI serta simpatisannya dibakar setelah peristiwa lubang buaya."

"Apakah benar omongan itu, apa yang terjadi di lubang buaya?!"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline