Lihat ke Halaman Asli

Ilmiawan

Mahasiswa

Rina Tertawa Sebelum Rudi Pergi

Diperbarui: 18 Juli 2021   20:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku tak pernah menyangka berada di detik ini, berdiri di antara ada dan ketiadaan. Ketika segalanya hancur berkeping-keping, aku disisakannya dan menjadi tuan seorang diri di sebuah rumah sederhana yang aku dan istriku lebih suka menyebutnya istana. 

Ia telah pergi sekarang, tampaknya pergi dari semalam sehabis mendengar curhatanku mengenai dipecatnya seorang karyawan gigih hanya karena meninju seorang klien tepat di muka. 

Klien itu seorang pejabat, tetapi mulut kotornya tak bisa kutoleransi lagi ketika ia mengomentari penampilanku yang acak-acakan. Dia tak pernah tahu, dua malam aku tak tidur demi mengurusi desain kampanyenya yang merepotkan. 

Awalnya ia bilang begini, tiba-tiba minta begitu, bagaimana aku tidak ngamuk. Seorang labil bajingan. Kini uang darinya aku tak dapat, istriku pun telah pergi meninggalkanku.

Malangnya aku, ia tak menyisipkan satu surat pun di bawah gelas kosong di meja kecil samping tempat tidur. Serta nomor teleponnya sudah tidak aktif. Aku tak tahu ia ada di mana. Aku tak tahu mengapa ia pergi.

Aku benar-benar merasa hampa sekarang. Kulihat lemari pakaian kosong separuh, ia hanya menyisakan kaus Ramones hitam terlipat rapi tepat di antara ruang-ruang yang telah kosong. 

Baju itu kupeluk dengan hati, aroma tubuhnya masih melekat di sana. Dunhill International, cairan es krim vanilla yang telah berkerak bercampur dengan keringatnya sehabis desak-desakan menonton konser musik punk dua bulan lalu.

Dipecatnya aku dari pekerjaan bukanlah apa-apa, aku tak pernah menyesal telah meninju wajah lelaki buncit itu. Namun di masa aku terpuruk, istriku tidak ada di sisiku, itulah yang membuatku duduk di kamarku berjam-jam memikirkan tentang menghabiskan waktuku di kamar mandi dengan sebilah pisau dan sebotol wine. 

Tapi tidak jadi setelah kupikir, ada harga yang harus dibayar atas kemalanganku ini. Dan Lelaki 55 tahun itu adalah harga yang pantas.

***

"Aku hanya ingin bersenang-senang,"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline