Lihat ke Halaman Asli

Nurul Hidayah

Jejak Pena

Terbang Bersama Sayap Takdir

Diperbarui: 30 Oktober 2020   17:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

              Malam ini menjadi malam terakhirku. Setelah seharian kuhabiskan waktuku untuk mengemasi buku-buku dan pakaian-pakaianku. Satu tas ransel buku, dua kardus pakaian, dan beberapa makanan ringan dalam plastik telah tertata rapi di sudut kamarku. Aku masih duduk terdiam di ujung tikar. Di atas tikar inilah aku dan dua adik perempuanku tidur bersebelahan. Di depan kami juga tergelar tikar untuk Ibuk dan dua adik perempuanku yang masih balita. Bapak dan dua adik laki-lakiku lebih suka tidur di ruang depan. Ruang depan ini memang multifungsi, kalau pagi kami jadikan ruang tamu dan saat malam tiba ruangan ini menjelma menjadi kamar tidur. Sedangkan nenek yang telah memasuki masa senjanya selalu menghabiskan waktu di kamarnya. Kamar beliau berhadap-hadapan dengan kamar untuk sholat.

            Tak terasa butir-butir bening mulai berjatuhan dari sudut mataku. Semakin lama alirannya semakin menderas, hidung pun mulai memerah, dan isak tangis mulai membanjiri hati.

"Bagaimana aku mampu meninggalkan mereka? Sembilan belas tahun ku jalani hari-hariku bersama mereka. Suka duka, canda tawa, kebersamaan, saling berbagi, dan terkadang juga ada bumbu pertengkaran-pertengkara kecil dengan mereka. Sanggupkah aku jauh dari keluarga?", jeritku dalam hati.

Aku masih menundukkan kepala sambil menghapus air mataku dengan ujung jilbab. Aku berusaha bangkit masuk ke kamar nenek, beliau sudah tidur. Aku duduk di kursi yang berada di samping ranjang beliau. Air mataku tak henti-hentinya menetes, ku pijat lengan dan kaki beliau meski beliau tak memintanya. Karena aku anak pertama, nenek menjadi teman setiaku saat aku masih kecil. Ku habiskan hari-hariku bersama beliau. Kasih sayang beliau begitu besar kepadaku, begitupun kepada enam orang adikku.

Setelah beberapa saat menemani nenek, aku melangkah ke ruang tengah. Ruangan ini cukup luas dan kami sekeluarga biasa berkumpul di ruang ini. Di ruangan ini kami sahur dan berbuka puasa saat bulan Ramadhan. Ruangan ini sangat nyaman untuk belajar sehingga aku dan adik-adik suka belajar di sisi. Di ruangan ini pula kami merebahkan badan di kala malam datang. Keempat orang adikku sudah tertidur pulas. Ibuk masih terjaga sambil meninabobokan anak bungsunya. Rasanya kuingin menjadi balita lagi, yang tidur dalam dekapan hangatnya.

Aku masih berada di balik korden yang menjadi sekat antara kamar nenek dan ruang tengah. Kali ini bukan jilbab yang kualihfungsikan menjadi tissue, korden pun jadi pelampiasan luapan tangis yang tak mampu lagi kubendung. Kupandangi wajah Ibukku, guratan halus di bawah kantung matanya mulai muncul. Kedua tangannya pun sudah mulai memancarkan usia senja. Tapi satu hal yang tak pernah luput dari pandanganku, senyuman. Beliau selalu tersenyum di depan kami, beliau selalu terlihat tegar saat membersamai kami. Tapi aku tahu segalanya, di balik senyum cerahnya ada sedikit luka yang terkadang membuatnya menangis. Mungkin kami terlalu nakal, mungkin kami selalu merepotkan, atau bahkan mungkin perkataan dan perbuatan kami lah yang menyayat hati beliau. Tangisku semakin membanjiri korden saat membayangkan kemungkinan-kemungkinan ini. Landas bagaimana aku mampu melangkahkan kaki menjauh dari Ibuk.

Pada sepertiga malam terakhir sering kudengar isak tangis Ibuk. Dalam sholat malamnya beliau sujud begitu lama, memanfaatkan waktu mustajab untuk berdo'a. Tak pernah ku dengar beliau menyebutkan daftar keinginan pribadi dalam do'anya. Dalam setiap pintanya, nama anak-anaknya lah yang menduduki urutan teratas daftar do'a beliau. Beliau tak pernah meminta kemewahan dunia. Beliau hanya menginginkan keluarga kami hidup berkecukupan, sederhana, dan selalu dalam lindungan Sang Pencipta. Semoga anak-anaknya menjadi anak yang sholeh sholehah dan berbakti kepada orang tua.

Aku segera menghapus tangisku saat Ibuk menoleh ke arahku. Beliau bangun dan berjalan ke arahku. Mengajakku ke ruang depan untuk menemui Bapak.

"Nak, kamu ngapain berdiri di situ? Ayo kita keluar dan menemui Bapak!"

"iya Buk, nanti Nurul nyusul. Nurul mau ke kamar mandi sebentar."

"jangan lama-lama ya! Ibuk sama Bapak menunggumu di teras."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline