Mohon tunggu...
Nurul Hidayah
Nurul Hidayah Mohon Tunggu... Relawan - Jejak Pena

Menulislah, karena menulis itu abadi. Tinggalkan jejak kebaikan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Terbang Bersama Sayap Takdir

30 Oktober 2020   17:13 Diperbarui: 30 Oktober 2020   17:15 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"baik, Buk."

Aku pun bergegas ke kamar mandi. Aku basuh mukaku yang sudah memerah karena lamanya aku menangis. Lalu aku berwudhu dan mencoba menenangkan diri. Aku tidak mau jika Bapak dan Ibuk melihat bekas-bekas tangis di wajahku. Tapi mataku tak bisa berbohong, kedua mataku sembab dan kantung mata membesar seperti bola bekel yang di rendam dalam minyak tanah.

Setelah sampai di teras, aku pun duduk bersebelahan dengan Bapak dan Ibuk, aku diapit di tengah-tengah mereka. Kami menghabiskan malam perpisahan ini di teras rumah sambil memandangi langit. Bulan bersinar terang dan bintang-bintang pun berkelipan seolah mereka menghiburku dari perih dan pedihnya perpisahan ini.

Kami bertiga tersenyum bersama, memandang langit sambil mengenang masa kecilku. Bapak dan Ibuk bercerita tentangku, betapa menggemaskannya aku saat masih bayi. Mereka selalu bersama menyaksikan pertumbuhan dan perkembanganku hingga sekarang. Senyuman kami semakin lama berubah menjadi tangis, tangis haru dan tangis bahagia. Kebahagiaan itu karena besok pagi aku akan melangkahkan kaki ke luar kota untuk kembali menuntut ilmu. Dan kesedihan yang kami rasakan tak lain karena kami akan terpisah. Terpisah oleh jarak yang cukup jauh dan terpisah dalam waktu yang cukup lama. Percakapan malam kami pun berakhir setelah aku tertidur dalam pangkuan Ibuk.

Fajar mulai terlahir, langit masih gelap, cahaya lampu tampak temaram di sudut-sudut jalan. Sisa-sisa hujan semalam masih meninggalkan bekasnya pada dedauanan dan rerumputan, pagi telah tiba. Ibuk sudah menyiapkan sarapan pagi sejak subuh. Aku pun sudah bersiap-siap sejak subuh, mandi, sholat, lalu sarapan. Pagi ini kami menikmati sarapan berselimut dingin. Jam dinding masih menunjukkan pukul 05.00 WIB.

"makan yang banyak, Nak!", kata Ibuk sambil menuangkan beberapa centong nasi ke piring kami.

"iya, Buk. Pasti Nurul habiskan lauknya. Karena Nurul bakal rindu masakan Ibuk dan makan bersama seperti ini."

"tidak usah disuruh juga dia bakal menghabiskan semua lauknya. Anak kita yang satu ini dari dulu nggak pernah bisa menolak masakan ibuknya.", Bapak ikut meramaikan suasana, beliau berkata demikian dengan senyumannya yang khas.

"Ibuk...", suara si bungsu disertai tangisan khas balita membuat Ibuk segera bergegas menggendongnya.

Suasana pun bertambah ramai saat satu persatu penghuni rumah terbangun dari tidurnya. Kami menikmati sarapan di ruang tengah, sedangkan nenek masih berada di kamarnya. Selesai makan, aku pun menemui nenek untuk berpamitan.

"hati-hati ya nduk! Kamu belum pernah pergi sejauh ini. Biasanya kalau kamu pergi bermain atau pergi sekolah sampai sore hari belum pulang, mbah selalu menanyakanmu. Jaga diri baik-baik, jaga kesehatan, dan jangan lupa makan yang teratur."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun