Lihat ke Halaman Asli

Nursini Rais

TERVERIFIKASI

Lahir di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tahun 1954.

Ada Apa dengan Peribahasa, "Idut ndak Balanjo Mati Bakagajad"

Diperbarui: 22 Juni 2021   11:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi memasak untuk persiapan acara sedekahan orang meninggal. (Sumber foto: tangkapan layar dari video pribadi)

"Idut ndak balanjo, mati bakagajat." Jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia maknanya, "Masih hidup butuh belanja (biaya), setelah mati perlu didoakan.

Peribahasa ini lazim digunakan oleh orang tua-tua, untuk menyelenggengkan tradisi mendoakan mayit dengan ritual-ritual khusus. Masyarakat menyebutnya "ngajat" orang mati.

Diantaranya, malam 1-7 setelah pemakaman, hari ke14 (2X 7), hari ke 40, dan terakhir hari ke 100, yang merupakan serimonial penutup. Semuanya mengeluarkan biaya.

Tradisi Turun Temurun

Kebiasaan ngajat mayit seperti ini telah berlaku lama secara turun temurun. Khususnya di kampung halaman saya di Inderapura Pesisir Selatan Sumatra Barat sana. Kalau terlewat atau sengaja dilewatkan, itu merupakan aib besar bagi keluarga yang ditinggalkan. Kepergian almarhum/almarhumah dianalogikan seperti "mati kerbau".

Bagi keluarga berpunya, tak jarang upacara hari ke 7 atau ke 40, dilaksanakan secara meriah versi orang kampung.

Namun buat ahli waris yang berkantong kempes, cukup sederhana saja. Yang penting, peringatan tertunai tepat waktu.

Tradisi Baru

Sejatinya para penceramah sering menghimbau di tempat pengajian, supaya masyarakat meninggalkan budaya makan minum di rumah keluarga orang meninggal. Mereka (Pak Ustadz) menilai gaya tersebut tidak sesuai dengan tuntunan Islam. Sudah keluarga dalam berduka, dibebani pula dengan biaya-biaya tak jelas.

Namun, untuk mengubah kultur yang terlanjur mengakar di tengah masyarakt itu tidak semudah membalik telapak tangan.

Yang membesarkan hati, akhir-akhir ini di kampung saya ada praktik baru. Kalau ada warga yang meninggal, untuk kenduri hari pertama para tetangga ramai-ramai mengantarkan nasi dan sambal ke rumah ahli waris. Jadi, pada momen berduka tersebut keluarga si mayit tak perlu ribet dengan urusan masak-memasak.

Di Sebagian Desa Sistemnya Telah Berubah

Sampai kini, praktik ngajat mayit masih tetap diselenggarakan dalam wilayah Inderapura. Tetapi sistemnya sudah banyak berubah. Di beberapa desa berlaku aturan tidak boleh menyuguhkan makanan dan minuman pada tamu pelayat.

Waktu Yasinan (malam 1-7), jangan coba-coba menyuguhkan makanan. Tidak bakalan dimakan oleh tamu. Yang menarik, usai baca surah Yasin ada acara tambahan. Setiap malam tuan rumah mendatangkan penceramah untuk menyampaikan taustiah. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline