Lihat ke Halaman Asli

Menggugat Keulamaan Rhoma Irama

Diperbarui: 25 Juni 2015   01:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1345606856974633356

[caption id="attachment_201430" align="alignnone" width="300" caption="Rhoma berkampanye untuk Foke"][/caption] Tadi malam aku nonton Indonesia Lawyer Club (ILC) yang mengangkat tema “Rhoma Menggoyang SARA”. Aku benar-benar kecewa, gemes, dan jengkel melihat keangkuhan Raja Dangdut Rhoma Irama. Aku tidak menyapanya dengan panggilan Bang Haji. Karena aku ga pernah dengar Nabi dan para sahabatnya dipanggil Haji meskipun mereka sudah melaksanakan Rukun Islam kelima.

Kuperhatikan Rhoma dengan butiran tasbih di tangannya, tampil dengan angkuh, sombong dan merasa suci, dan merasa tak bersalah.

Aku kaget ketika dengan percaya diri-nya, Rhoma mengatakan bahwa ia berada di tengah-tengah jamaah shalat Tarawih di Masjid Al Isra, Tanjung Duren, Jakarta Barat, beberapa waktu lalu bukan dalam kapasitasnya sebagai juru kampanye (jurkam) tapi sebagai juru dakwah (jurdak), da’i, atau ulama.

Kekagetan aku itu mendorong untuk mengajukan pertanyaan: “Siapa yang mengangkat Rhoma sebagai ulama? Sejak kapan ia disertifikasi sebagai ulama?

Ulama adalah orang yang berilmu, ‘alim, ilmuwan, cendekiawan, ahli agama. Nah, bagaimana seorang Rhoma bisa mengklaim dirinya ahli agama. Dimana ia belajar agama, siapa gurunya, karya apa yang telah dilahirkan? Pertanyaan ini penting dan perlu untuk mengetahui keilmuan seseorang.

Sebab yang aku tahu, Rhoma Irama adalah penyanyi, pengarang lagu, dan pemain musik. Juga aktor film yang sering aku lihat di layar lebar semasa aku kecil melalui film-film cinta yang ia perankan. Film nafsu yang mengumbar adegan pelukan dan ciuman.

Kalau memang Rhoma seorang ulama, kenapa ia melakukan fitnah, dengan mengatakan ibu Jokowi seorang Non-Islam. Bukankah fitnah itu perbuatan keji yang harus dihindari oleh seorang yang berpredikat ulama.

Kalau memang Rhoma seorang ulama, kenapa ia menyebarluaskan informasi yang tidak benar kepada orang banyak yang sedang melaksanakan shalat tarawih. Bukankah itu termasuk perbuatan pencemaran nama baik.

Kalau memang Rhoma seorang ulama, kenapa ia tega menghina dan mencaci maki ibunya sendiri. Bukankah ia yang mengarang dan menyanyikan lagu berikut ini:

Hai manusia, hormati ibumu Yang melahirkan dan membesarkanmu Darah dagingmu dari air susunya Jiwa ragamu dari kasih-sayangnya Dialah manusia satu-satunya Yang menyayangimu tanpa ada batasnya

Tidakkah Rhoma membaca Hadits Nabi yang berbunyi: “Diantara dosa besar adalah perbuatan seseorang yang mencaci maki kedua orang tuanya. Para sahabat lalu bertanya, apakah ada orang yang berani memaki-maki orang tuanya? Nabi menjawab ada. Yaitu, seseorang yang mencaci maki ayahnya orang lain itu sama dengan ia mencaci maki ayahnya sendiri. Seseorang yang mencaci maki ibunya orang lain itu sama dengan ia mencaci maki ibunya sendiri.”

Kalau memang Rhoma seorang ulama, kenapa ia tidak mencamkan Hadits Nabi: “Jika seseorang menyebut orang lain dengan sebutan Ya Kafir, maka salah satu di antara orang itu berarti telah kafir.”

Kalau memang Rhoma seorang ulama, kenapa ia tidak memperhatikan Hadits Nabi: “Janganlah seseorang melemparkan kata-kata fasiq dan kafir kepada orang lain jika orang yang dimaksudkan tidak fasiq dan juga tidak kafir.”

Kalau memang Rhoma seorang ulama, kenapa ia tidak mengindahkan Hadits Nabi: “Jika seseorang menyebut saudaranya muslim dengan sebutan Ya Kafir, maka orang itu sama halnya telah membunuh saudaranya itu.”

Kalau memang Rhoma seorang ulama, kenapa ia tidak mengadakan tabayyun atau klarifikasi terlebih dulu sebelum berbicara di hadapan banyak orang. Tidakkah ia membaca Surat Al-Hujurat (Ayat 6): “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasiq membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti (klarifikasi), agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”

Kalau memang Rhoma seorang ulama, kenapa ia tidak menyampaikan materi dakwah yang menyejukkan dan meneduhkan. Kenapa ceramah malam Ramadhan dan di tempat ibadah justru mengundang kebencian orang banyak.

Kalau memang Rhoma seorang ulama, kenapa ia tidak mengejawantahkan Surat Al-Maidah (Ayat 8): “Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” Janganlah kebencian kepada Jokowi atau perbedaan politik dalam pilkada menyebabkan Rhoma berbuat tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan takwa itu santapan seorang ulama.

Kalau memang Rhoma seorang ulama, kenapa ia tidak mengamalkan Hadits Nabi: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Kiamat maka hendaklah berkata yang baik, kalau tidak bisa, diamlah!”

Kalau memang Rhoma seorang ulama, kenapa ia mengabaikan Hadits Nabi: “Jika suatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya.” Yaitu, jika urusan agama diserahkan kepada orang yang bukan ahli agama.

Inilah kualitas ulama kita, walaupun tidak semua ulama berkualitas seperti Rhoma. Tidak sedikit ulama yang mengandalkan kemampuan agamanya dari hasil membaca terjemah Al-Quran dan Hadits, tanpa dibarengi kemampuan menggali sumber-sumber rujukan pendukung lainnya seperti kitab-kitab Tafsir dan Hadits. Baru tahu sepotong dua potong ayat, sudah berani berkoar-koar dan ngaku-ngaku ulama, ngaku-ngaku ustadz, ngaku-ngaku da’i dan ngaku-ngaku muballigh.. Ini sungguh TERLALU.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline