Di banyak tempat kerja, kita sering menemukan sosok yang selalu siap membantu, tidak pernah menolak, sabar menghadapi tekanan, bahkan menjadi pendengar setia keluhan rekan-rekannya. Mereka dikenal sebagai "orang baik" di kantor kolega idaman yang membuat suasana kerja terasa lebih hangat.
Namun, ada paradoks yang jarang dibicarakan: justru orang-orang baik seperti inilah yang paling rentan mengalami burnout dan depresi. Di balik senyum ramah dan sikap kooperatif, mereka menyimpan beban psikologis yang tidak selalu terlihat.
Ternyata, ada beberapa hal yang bikin orang baik justru lebih mudah terpuruk secara mental.
Beban Kerja yang Berlebihan
Masalah pertama: orang baik sulit sekali bilang "tidak". Bayangin saja, setiap ada yang minta bantuan, mereka selalu siap tersedia. "Tolong dong buatin presentasi ini," atau "Kamu kan jago Excel, bantuin dong." Awalnya sih senang karena merasa dibutuhkan.
Tapi lama-lama? Job desc asli mereka jadi terabaikan. Jam kerja tambah panjang. Weekend yang harusnya buat istirahat, malah kepikiran pekerjaan. Yang tadinya jadi andalan, sekarang malah kewalahan sendiri. Yang akhiirnya mengorbankan kesehatan diri sendiri. Inilah awal dari burnout.
Kesulitan Menetapkan Boundaries
Orang baik tuh punya masalah sama yang namanya boundaries. Chat WhatsApp grup kantor sampai jam 10 malam? Direspons. Weekend dapat pesan dari atasan? Langsung dibales. Lagi cuti tapi ada yang tanya-tanya kerjaan? Tetap dijawab dengan sabar.
Mereka merasa bersalah kalau tidak langsung merespons. Takut dianggap tidak responsif atau tidak peduli. Padahal, akibatnya mereka tidak punya waktu untuk recovery mental. Otak mereka selalu dalam mode "standby" untuk kerjaan, tidak pernah benar-benar off.
Perfeksionisme dan Standar Tinggi
Orang baik sering menetapkan standar tinggi untuk dirinya sendiri. Mereka ingin memberikan hasil yang sempurna, seakan tanggung jawab pekerjaan sepenuhnya ada di pundaknya. Jika hasilnya tidak sesuai ekspektasi, mereka cenderung mengkritik diri secara berlebihan.
Perfeksionisme ini bisa menjadi pedang bermata dua: di satu sisi membuat mereka dipercaya sebagai pekerja teliti, tapi di sisi lain menjebak dalam siklus stres, rasa bersalah, dan kelelahan emosional.
Kurangnya Apresiasi
Ironisnya, kebaikan mereka kerap dianggap hal yang biasa. Bantuan ekstra, lembur tanpa keluhan, atau sikap selalu siap sering tidak mendapatkan penghargaan yang setimpal. mereka cuma dapat "makasih ya" atau bahkan tidak ada acknowledgment sama sekali.