Lihat ke Halaman Asli

Nuning Listi

ibu rumah tangga

Puasa dan Sikap Eksklusivitas

Diperbarui: 8 April 2022   20:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

aswajadewata

Sekitar dua dekade lalu kita kenal sebuah organisasi massa yang sering "marah" kepada warung atau restoran yang buka ketika bulan puasa. Tidak saja marah, tapi juga merusak tempat itu sehingga porak poranda. Mereka bilang kepada pemilik warung bahwa semua harus menghormati bulan Ramadhan sebagai bulan suci yang mewajibkan semua orang berpuasa.

Pengrusakan itu seringkali diwarnai teriakan, tangisan sang pemilik warung dan perlawanan yang mungkin tidak sebanding karena ornas tersebut sering membawa "pasukan" alias mereka jarang sendirian karena sering berlima sampai bersepuluh dengan membawa perlengkapan perusak.

Di sisi lain beberapa ibu yang sedang hamil, sakit atau sedang haid dan tidak sempat membawa makanan dari rumah, yang kesulitan memperoleh makan siang karena tidak ada warung yang berani buka pada saat itu. Restoran juga sebagian memutuskan untuk tidak buka.

Kini, ormas itu memang tidak lagi ada karena sudah dilarang oleh pemerintah, namun masih ada saja pihak-pihak yang selalu mempersoalkan soal warung yang buka atau tidak buka saat puasa. Sebagian menginginkan untuk tidak beroperasi bagi warung-warung dan restoran, namun sebagian menginginkan tidak lagi melarang para pengelola kuliner ini untuk buka karena sebagian orang masih membutuhkan keberadaan warung dan resto pada siang hari.

Dititik ini kita memang harus lebih arif. Bahwa meski kita berada di negara yang sebagian besar memeluk agama Islam dan saat ini menjalankan ibadah puasa, namun harus kita akui bahwa melarang warung dan resto untuk buka adalah hal yang tidak bijak dan terkesan eksklusif. Kita tahu sebagian orang membutuhkan (termasuk warga muslim dengan keadaan tertentu tidak bisa puasa).

Kita juga harus sadar bahwa kita hidup di negara dengan bermacam keyakinan dan hidup bersama dalam satu bangsa. Satu kelompok harus menghargai kelompok lain dan satu lainnya juga memberi kesempatan beribadah dengan baik dan layak- sebagaimana dia juga diberi kesempatan oleh kelompok lainnya.

Dalam hal ini kita bisa menengok toleransi yang ada di pulau Bali. Di pulau dewata itu, meski Islam adalah agama minoritas karena mayoritas penduduk beragama Hindu, tapi saya berani memastikan bahwa muslim di pulau itu diberi kesempatan yang baik oleh mayoritas Hindu, dan sebaliknya, mereka bekerja sama dalam kebaikan. Hindu tidak merasa eksklusif dan muslim di sana dapat menempatkan diri dengan baik.

Di bulan suci ini, marilah kita memerdekakan diri bersama-sama dalam menjalankan ketentuan agama. Ramadhan seharusnya adalah momentum untuk saling menghormati dan bekerjasama antar umat -- satu kelompok tidak merasa eksklusif dan bertindak sewenang-wenang-, disisi lain umat lain juga memberi kesempatan dan menghargai umat lain.      




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline