Pagi itu lahir dari lautan biru yang tenang. Kabut tipis membungkus permukaan air, memberi kesan misterius sekaligus damai. Matahari belum sepenuhnya muncul, tapi cahaya kemerahan perlahan menembus kabut, memantul di atas gelombang kecil yang menari-nari seperti ribuan kristal berkilau. Di kejauhan, perahu-perahu nelayan tampak seperti titik-titik gelap yang menempel di laut, bergerak perlahan mengikuti ritme ombak.
Aku duduk di tepi pantai, pasir basah menyentuh kakiku, dingin namun nyaman. Angin laut bertiup lembut, mengibaskan rambut dan gaunmu yang putih bersih. Kau datang, berjalan pelan di antara garis ombak yang menyentuh kaki, seolah laut sendiri memberi jalan untukmu. Rambutmu yang hitam mengkilap memantulkan cahaya fajar seperti riak cahaya di permukaan air. Wajahmu yang cerah dan bersih bagiku adalah fajar yang lahir dari lautan biru.
“Kenapa kau menatapku begitu?” tanyamu, suaramu lembut nyaris tenggelam oleh suara ombak yang berdebur di bibir pantai.
“Karena aku sedang mencari matahari,” jawabku sambil tersenyum.
Kau menunjuk ke ufuk timur, di mana sinar mentari perlahan memecah kabut. “Matahari ada di sana.”
Aku menggeleng. “Tidak. Matahari sudah lama berpindah. Sekarang ia ada di wajahmu.”
Kau tertawa kecil. Suara tawamu terdengar seperti buih ombak yang pecah di karang, ringan, cepat hilang, tapi meninggalkan kesan hangat. Aku tahu, di balik tawa itu ada senyum yang tulus, yang mampu menenangkan hatiku yang gelisah.
Kami duduk di pasir, kaki menyentuh air yang dingin. Kau memutar kerang kecil di tanganmu, memperhatikannya sejenak, lalu melemparkannya perlahan ke laut. “Laut ini seperti cinta, ya?” tanyamu.
Aku menatapmu. “Kenapa kau bilang begitu?”
“Kadang tenang, kadang bergelora. Kadang jernih, kadang keruh. Tapi apa pun keadaannya, laut selalu kembali ke dirinya sendiri.”