Lihat ke Halaman Asli

I Nyoman Tika

Dosen Kimia Undiksha - Hoby menanam anggur

Kepala Babi, Simbiosis antara Media Massa dan Terorisme

Diperbarui: 23 Maret 2025   23:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber : pngkey.com

Teror terhadap jurnalis itu menjadi kurang penting ketika banyak hal mengejutkan terjadi belakangan di negeri kita,  seperti Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok hingga 7% dan kurs  dollar menaik,  Pada Rabu, 19 Maret 2025, kantor grup media Tempo yang terletak di Jalan Palmerah Barat, Jakarta Selatan, menerima kiriman kepala babi. Paket yang diduga bertujuan untuk meneror tersebut dibungkus dalam kotak kardus yang dilapisi styrofoam. Kejadian ini benar-benar mengejutkan kita semua.

Paket yang berisi kepala babi tersebut ditujukan kepada "Francisca Rosana (Cica)", yang tercantum pada labelnya. Di Tempo, Cica adalah nama panggilan untuk Francisca Christy Rosana, seorang wartawan di desk politik dan juga host siniar Bocor Alus Politik. (Tempo.co.id). Kasus teror ini adalah yang pertama melibatkan seorang wartawan yang menerima paket berisi kepala babi, dan kemudian diikuti oleh paket kedua yang berisi enam bangkai tikus dengan kepala yang dipotong.

Apa sebenarnya makna dari semua ini? Kita melihat kiprah Tempo sebagai media yang sering mengkritisi pemerintah, baik pada masa Presiden Jokowi maupun Presiden Prabowo saat ini. Tempo selalu menyampaikan kritiknya. Kritik memang penting dan harus ada, seperti yang dinyatakan Aristoteles, "Hanya ada satu cara untuk menghindari kritik: tidak melakukan apa-apa, tidak mengatakan apa-apa, dan tidak menjadi apa-apa."

Lalu, apa makna dari semua ini? Apakah itu simbol pujian atau makian? Media massa, kritik, dan simbolisasinya serta hubungan (simbiosis) keduanya menarik untuk dianalisis. Sebab, masyarakat hanya memiliki satu harapan, sesuai dengan kata bijak Eric Thomas: "Saya tidak menerima kritik membangun dari orang-orang yang tidak pernah membangun apa pun."

Hubungannya menjadi inspirasi, seperti yang diungkapkan oleh Elshimi, M. (2018) dalam artikelnya yang berjudul Thinking about the symbiotic relationship between the media and terrorism dalam jurnal Policy Brief, 18(12), 1-7. Elshimi menulis bahwa simbiosis antara media dan terorisme seringkali diabaikan dalam pemikiran kontra-terorisme di kalangan pembuat kebijakan, meskipun pengaruh 'media baru' telah mendapatkan perhatian yang besar.

Namun ketika kepala babi dan tikus dikrimkan  ke Tempo, kehadirannya seakan memberikan bukti, bahwa bagaiamana sikap public, negara dan kekuasaan   terhadap peran jurnalis, apakah membisu, berteriak, lalu mengutuk, atau bagaimana?

Sikap public dan pemerintah, sangat menentukan simbiosis apa yang sedang dibangun  antar media massa dan terorisme, yang dihadapi negara

  Nampaknya  kebisuan  dan tanggapan yang main-main dari kekuasaan, perihal kepala babi itu,  dalam bentuk pernyataan ' masak saja", membuktikan Kondisi demikian  memberikan sinyal bahwa, dalam situasi seperti ini, hukum kehilangan maknanya, negara kehilangan eksistensinya, dan kita semua kehilangan rasa aman yang seharusnya muncul dari kebebasan berbicara. Benarkah?, entalah, waktu yang menjawabnya.

Simbiosis antara media dan terorisme  kini menjadi semakin penting, sebab kejutan-kejutan yang ditampilkan oleh Tempo sering kali membuat publik tercengang dan berpikir lebih dalam. Di antara kemapanan dan status quo, apa yang dilakukan Tempo memang sering kali tidak diterima oleh sebagian masyarakat. Lalu, apa sebenarnya yang dimaksud dengan symbiosis terorisme  dengan mediamassa. Marilah kita telusuri lebih lanjut  

TERMINOLOGI: MEDIA, SIMBIOSIS, TERORISME

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline