Lihat ke Halaman Asli

Puisi | Merayu Sang Pemimpi

Diperbarui: 8 Desember 2018   17:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Pixabay

Dalam kerumunan yang kehilangan percakapan, kita larut menjadi malam di secangkir kopi sasetan.

Menyaksikan langit terpejam, sebagai peringatan tentang orang-orang yang lebih dulu pergi untuk menemui dan menjadi filosofi. 

Menangisi bintang-bintang yang bunuh diri, karena aku lebih suka merayakan patah hati daripada hidup kembali.

Perasaan, menjadi perihal yang tidak ingin aku bawa ketika kita memunguti bahasa. Kamu dengan sabar, dan aku yang hambar. Puisi terlalu manis dan menyakiti. Aku ingin mencari kamu yang bebas dari hujan, bunga, senja, dan alang-alang.

Tapi, kamu curang.

Diam-diam memasuki mimpi-mimpiku yang masih kanak-kanak, dan menggandengnya keluar. Menyodorkan secawan realita yang kausebut cinta, dan kuhina sebagai dusta.

Hati yang kutanggalkan dan kutinggalkan di bawah pohon ketapang telah dicuri oleh sekawanan musang.

Sekarang, bagaimana?

Aku tidak punya perasaan,

apa kamu bawa hati cadangan?

***

N. Setia Pertiwi

Cimahi, 06 Desember 2018




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline