Lihat ke Halaman Asli

Negeri Seribu Kedai Kopi, Melegenda Sebagai Bagian Jihad di Serambi Mekkah

Diperbarui: 7 Februari 2021   11:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sandiaga Salahuddin Uno menikmati kopi di Solong Coffee Ulee Kareng, Banda Aceh.Sumber gambar: aceh.tribunnews.com

Saya merupakan seorang pendatang di Aceh. Satu hal yang spesial mengenai Aceh bagi saya adalah banyaknya kedai kopi mulai dari pusat kota hingga di pelosok desa.. Tepat sekali jika Tanah Rencong ini juga dijuluki negeri seribu kedai kopi.

Di semua daerah, bahkan desa, terdapat kedai kopi masih ramai pengunjung hingga pagi hari. Ini bisa menjadi tips bagi sobat luar yang mau ke Aceh, kalau sobat tidak memiliki tempat penginapan, begadang saja sampai pagi di kedai kopi. Hotel bermodalkan 10.000 rupiah.

Kopi memang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat Aceh dan sudah menjadi gaya hidup (lifestyle). Dari siang sampai malam, berbagai lapisan masyarakat mengisi kedai-kedai kopi untuk bersantai minum kopi. Yang muda atau tua, pria atau wanita, miskin maupun kaya, semua berbaur tanpa sekat-sekat pembatas. Bisa dikatakan, kopi sudah ibarat nafas bagi orang Aceh sejak zaman kesultanan Aceh.

Setidaknya ada dua kopi yang sangat terkenal di Aceh sejak era kolonial Belanda, yaitu kopi Ulee Kareng dan kopi Gayo. Kopi Ulee Kareng termasuk jenis kopi Robusta sedang kopi Gayo merupakan jenis kopi Arabika yang termasuk kelas kopi premium. Aceh memang istimewa dengan "emas" hitam nya. Bahkan, brand Kopi Gayo sudah terkenal ke penjuru dunia. Brand besar Starbuck pun banyak menggunakan kopi Gayo. Dalam banyak festival tingkat dunia, kopi Gayo selalu ditempatkan pada posisi tertinggi dalam kasta kopi dunia.

Proses pengolahan bubuk kopi juga menyimpan keunikan tersendiri. Tidak sekadar diseduh dengan air panas, bubuk kopi juga dimasak sehingga aroma dan citarasa kopi yang keluar benar-benar kuat. Kopi yang telah dimasak kemudian mengalami beberapa kali proses penyaringan menggunakan saringan berbentuk kerucut. Teknik penyaringan ini memiliki persamaan dengan teknik menyaring kedai kopi etnis Tionghoa yang tersebar di sepanjang Selat Malaka, seperti di Singapura, Penang, Malaka, Batam, Pekanbaru, dan Medan. Keduanya sama-sama menggunakan saringan berbentuk kerucut untuk menyaring kopi. Ya, rasa-rasanya, kedai kopi di Aceh tak lepas dari pengaruh warga keturunan Tionghoa.

Meskipun kopi membudaya di Aceh, tanaman itu bukan tanaman asli tanah rencong. John R Bowen, seorang antropolog, dalam buku Sumatran Politics and Poetics, Gayo History 1900-1989, menyebut tanaman kopi dibawa Belanda ke Aceh pada awal abad ke-19. Pada tahun 1924, Belanda mulai mendatangkan investor Eropa guna membuka lahan kopi di kawasan dataran tinggi Gayo. Saat ini, Gayo (Kabupaten Aceh Tengah, Benar Meriah, dan Gayo Lues) memiliki seratus ribu hektar perkebunan kopi.

Tahukah kamu? Kupi (kopi) merupakan bagian dari jihad di negeri Serambi Mekkah.

Kebiasaan ngupi (ngopi) bahkan terpahat di pintu masuk makam Teuku Umar, Meulaboh, Aceh Barat.

"Singeuh bengoh tajep kupi di Keude Meulaboh atau lon akan mate syahid lam prang suci".

"Besok pagi kita akan minum kopi di Meulaboh atau saya akan syahid di Perang Suci."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline