Cerita di Pagi Hari
Bayangan langit perlahan berubah dari kelabu menjadi keemasan. Aku berdiri di depan jendela kamar asrama, memandang matahari yang muncul malu-malu di antara gorden yang belum sempurna tersibak.
Ini bukan pagi pertama yang kusambut sendiri, tapi setiap pagi selalu memberi kesan baru, terutama pada saat tidak ada siapa-siapa, selain diriku sendiri dan secuil harapan yang terselip di antara embun.
Tidak ada percakapan. Tidak ada suara. Tapi ada sesuatu yang tetap mengisi ruang kerinduan, ingatan, dan mungkin... doa-doa yang tidak sempat terucap.
Pagi yang Mengajarkan Diam
Hidup di asrama bukan hanya tentang berbagi kamar atau saling menyesuaikan jadwal mandi. Kadang, bagian yang paling sunyi adalah saat pagi datang terlalu cepat, saat teman sekamar masih terlelap dan dunia belum benar-benar bangun.
Dari jendela itu, aku menemukan ruang untuk mendengar diriku sendiri. Bukan suara, tapi gema dari hati yang jarang diberi waktu bicara. Pagi sepi menjadi tempatku menyusun kembali alasan bertahan dan tujuan berjalan.
Kerinduan yang Tidak Pernah Usai
Entah kenapa, jendela asrama selalu terasa menghadap ke arah rumah. Mungkin karena setiap kali aku memandang ke luar, yang terlintas bukan hanya langit, tapi juga wajah orang-orang yang kutinggalkan. Mamah di dapur. Ayah di teras. Adik yang masih merengek tidak mau berangkat sekolah.
Ada rasa rindu yang tidak bisa ditulis dalam chat. Tidak bisa dikemas dalam kiriman barang. Hanya bisa disalurkan lewat pandangan pagi dan doa yang pelan.