Udara dingin langsung menyergap ketika kendaraan mulai melambat di jalan menanjak menuju kawasan hutan Desa Burno, Kecamatan Senduro, Lumajang. Kabut tipis menari-nari di antara pepohonan damar yang menjulang tinggi. Di balik keheningan dan kehijauan hutan itu, tersembunyi sebuah tempat yang sederhana namun penuh kehangatan: Warung Bu Kus.
Warung ini tidak berada di tengah kota, bukan pula berada di pinggir jalan besar yang dilalui banyak kendaraan. Lokasinya justru agak terpencil, di jalur wisata menuju Ranu Pane dan Gunung Bromo dari arah Lumajang. Namun siapa sangka, dari tempat sunyi di Hutan Siti Sundari ini, lahir sebuah kisah perjuangan dan keteguhan hati yang layak untuk diangkat.
Bu Kus, pemilik warung tersebut, memulai usahanya pada tahun 2019. Kala itu, kawasan hutan ini sedang dalam proses pengembangan menjadi kawasan wisata keluarga. Perhutani dan masyarakat sekitar berkolaborasi untuk membuka potensi alam yang indah ini. Beberapa warung didirikan, area outbond dibangun, dan kuda poni pun disiapkan untuk memberi pengalaman berbeda bagi anak-anak yang berkunjung. Singkat kata, suasana kala itu hidup dan penuh semangat.
“Waktu itu pengunjungnya luar biasa. Sampai-sampai kalau mau duduk saja susah nyari tempat kosong,” kenang Bu Kus sambil tersenyum. Dengan menu masakan rumahan seperti sayur sop, sayur bening, telur ceplok, ikan asin, dan segelas kopi jahe hangat, warung Bu Kus menjadi tempat favorit untuk melepas lelah.
Namun tak lama berselang, dunia dilanda pandemi. Semua berubah. Kawasan wisata yang baru saja tumbuh itu mendadak sepi. Para pedagang memilih mundur satu per satu. Fasilitas wisata yang dulu dibanggakan seperti area outbond kini terbengkalai, berkarat dan rusak dimakan waktu. Kuda poni yang dulu menghibur anak-anak pun tak lagi terlihat.
Namun tidak dengan Bu Kus. Meski keadaan tak lagi menguntungkan, ia memilih bertahan. “Ya, kalau semua pergi, siapa yang jaga tempat ini?” katanya pelan, tapi mantap. Ia tetap membuka warungnya, meski kadang hanya satu dua pengunjung yang datang. Kadang seharian tidak ada orang sama sekali. Tapi Bu Kus tak menyerah.
Di warung kecilnya yang berada di antara rindangnya pohon damar, waktu terasa berjalan lebih lambat. Suasana begitu tenang, nyaris tanpa suara kendaraan. Hanya ada suara alam: desir angin, gemerisik dedaunan, dan kadang nyanyian burung liar. Warung ini menjadi tempat ideal untuk rehat sejenak dari perjalanan panjang, terutama bagi mereka yang hendak atau baru turun dari Gunung Bromo atau Ranu Pane.
Menu andalan Bu Kus mungkin sederhana, tapi justru itulah daya tariknya. Nasi hangat ditemani telur dadar atau ikan asin, sayur bening yang ringan tapi segar, dan tentu saja, kopi jahe yang tak pernah gagal menghangatkan tubuh dan hati. Kombinasi antara kopi bubuk lokal dan irisan jahe segar itu benar-benar menyentuh titik nyaman para penikmatnya.
Mushola di area wisata Siti Sundari (Sumber: dokumentasi pribadi/semangatdolan.com)