Lihat ke Halaman Asli

Adhi Nugroho

Blogger | Author | Analyst

Pendidikan: Solusi Melahirkan Kebiasaan Tanggap Bencana

Diperbarui: 23 September 2019   15:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kebiasaan tanggap bencana bisa menyelamatkan banyak korban jiwa. Foto: Global Education.

Kesadaran bermuara pada tindakan. Tindakan berulang akan melahirkan kebiasaan. Dalam konteks kebencanaan, kebiasaanlah yang akan menyelamatkan nyawa banyak orang.

***

Beberapa waktu lalu, saya iseng membuat riset kecil-kecilan. Saya penasaran, seberapa siapkah kita dalam menghadapi bencana alam. Melalui WA, saya mengirim pertanyaan terbuka kepada 23 orang teman yang berkantor di Jakarta.

"Gempa mengguncang Jakarta. Anda sedang bekerja di lantai 20. Apa yang akan Anda lakukan untuk menyelamatkan diri?"

Hasilnya cukup membuat saya tergelitik: 91 persen menjawab langsung berlari ke tangga darurat. Sisanya menjawab bersembunyi di bawah meja. Evakuasi baru dilakukan saat keadaan sudah kembali normal.

Andai gempa benar-benar terjadi, maka hanya 2 orang kawan yang punya harapan selamat tinggi. Sisanya tidak. Malah justru berpotensi menambah jumlah korban.

Analoginya begini. Saat gempa masih berlangsung lalu semua orang berebut masuk ke tangga darurat, kepanikan pasti merebak. Naluri manusia akan mengalahkan akal sehat. Saling sikut, saling injak, atau minimal dorong-mendorong, tiada terelakkan.

Hasilnya bisa kita terka. Cedera atau korban jiwa, bukan hanya diakibatkan karena gempa, tetapi juga karena kepanikan jiwa-jiwa yang berada di lokasi bencana. Dan, itu bermula dari salah kaprah dalam bertindak. Kekeliruan yang bukan hanya mengancam keselamatan diri sendiri, tetapi juga orang lain.

Oke. Saya memang sekadar iseng. Saya juga paham, hasil riset saya tidak bisa menjadi tolok ukur kesiapsiagaan kita dalam menghadapi bencana. Akan tetapi, saya juga berhak berandai-andai atau menerka-nerka. Jikalau benar adanya, maka tingkat kesiapan kita menghadapi bencana sangat rendah.

Pertanyaannya, mengapa bisa salah? Sebelum menjawab, ada baiknya kita cermati hasil kajian Lally dkk. (2010) bertajuk How are Habits Formed: Modelling Habit Formation in The Real World.

Untuk mengetahui bagaimana kebiasaan (habit) bisa timbul dari dalam diri manusia, Lally meminta 96 responden agar tidak melewatkan sarapan selama 12 minggu berturut-turut. Hasilnya, 82 responden merasa aneh ketika diminta untuk meninggalkan sarapan pada minggu ke-13.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline