Lihat ke Halaman Asli

Khanif Fauzan

Pustakawan

Cerpen | Pena

Diperbarui: 27 Maret 2018   19:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Twitter @kulturtava

H-10 (20:50- Distrik satu)

Desir halus menegakkan pori-pori kulit. Malam ini, angin berhembus dingin sekali seperti suhu es. Dalam keadaan seperti ini, sebagian orang lebih memilih tinggal dalam kamar dan berselimut tebal bagai kepompong, namun tidak bagi Andri. Dalam kamar, dinginnya udara dari celah-celah jendela sedikitpun tak dihiraukannya. Ia lebih tertarik mengamati benda yang siang tadi ia temukan di tengah jalan, sebuah pena.

Ia timang-timang, ia amati secara seksama benda yang ada ditangannya itu, sesekali ia mainkan benda itu karena rasa penasarannya. Pena yang unik. Warnanya putih mengkilat dengan dua garis hitam dipermukaannya. Ujungnya yang runcing seperti jarum, namun sayang. Beberapa kali Andri menggoresnya diatas kertas, setitik tinta tak keluar juga. Sesuatu yang paling menarik perhatian Andri adalah pangkal pena itu, yaitu ukiran emas bertuliskan 'Fluch'

"Nak Andri! Ibu minta tolong belikan supermie di warungnya Bu Atik. Malam ini Ibu gak punya lauk." Suara Ibu memanggilnya dari dapur. Segera Andri beranjak dari kamarnya demi memenuhi permintaan Ibunya itu. Pena-nya ia masukkan ke dalam saku celana.

Beberapa menit kemudian...

Malam yang dingin biasanya menyimpan cerita tersendiri yang terkadang tanpa di duga. Benang-benang takdir bagi seseorang di tentukan dengan suatu kejadian yang paling berasa dalam hidupnya. Malam ini, langit meneteskan rintik eligi nan tipis, sedikit menyamarkan suara-suara sumbang yang saling memekik dari mulut orang-orang. Langkah-langkah kaki merubung tergesa seakan ditarik medan magnet yang kuat. Sirine ambulan datang dari ujung jalan demi selamatkan sesosok jasad pingsan berlumuran darah.

Pukul sembilan tepat, tragedi mencuat. Seorang anak laki-laki tertimpa sebilah besi disamping bangunan yang sedang di renovasi. Beberapa bungkus supermi berserakan di jalanan. Dalam posisi telungkup, darah mengalir pekat dari luka-lukanya.

Dan di tangan kanannya, tergenggam erat sebuah pena.

H-10 (21:05- Distrik dua)

Detik-detik melaju cepat, seiring goresan pena yang diayunkan oleh novelis Eiri Kamil. Jarinya menari-nari diatas kertas sejak pukul tujuh tadi. Berlembar-lembar ia habiskan dengan tulisan yang sedemikian banyak. Konsentrasinya terpusat penuh dengan cerita yang dibuatnya, hingga tak dihiraukannya peluh di tengkuk dan perut yang sejak tadi keroncongan. Entah energi apa yang merasuki dirinya, ia terus menulis sampai tangannya melepuh.

'Ctak!'

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline