Mozaik Memori Masa Kecil
Pagi adalah waktu paling sibuk di halaman rumah kakek. Sebelum matahari selesai menyisir kabut, aku sudah bersiap. Kadang dengan ember kecil, kadang dengan karung goni, tergantung misi hari itu. Aku tak sendirian. Ada Sriatim, Wiji, dan Yatini---meski Yatini lebih sering sibuk dengan sisa ceker dari soto milik orang tuanya yang melegenda di kampung.
Kami punya dua peran utama: pemburu bekicot dan pencari telur bebek. Bebek-bebek Alabio milik kakek jumlahnya dua ratusan. Setiap pagi mereka menguak membeleter serentak, menciptakan simfoni yang hanya bisa dinikmati oleh mereka yang terbiasa dengan bau kotoran dan suara bebek basah.
Aku suka telur bebek, terutama yang ginjur---bercangkang lembek, hangat, seperti diselimuti rahim pagi.
"Ini bonus," kata kakek, sambil tersenyum, jika aku berhasil mengumpulkan bekicot paling banyak.
Tentu saja aku tidak bekerja sendiri. Teman-temanku kubagi tugas, lalu hasilnya kukumpulkan dan kujual ke kakek. Ada selisih harga kecil---cukup untuk jajan punten pecel, kerupuk sambel, atau beli pensil warna.
Aku belajar bisnis dari tanah, bekicot, dan kerelaan teman-teman yang lebih suka uang receh daripada menang sendiri.
Di antara petualangan pagi itu, ada juga hari-hari khusus:
Hari ketika kami menyusuri pematang sawah demi mencari kreco dan belut.
Hari saat kami menemukan telur bebek yang tercecer, mungkin karena induknya tak sanggup menahan keinginan bertelur saat digiring pulang oleh para paman penggembala itik itu.
Hari ketika kami memungut ciplukan atau santhiet, si buah panganan ulo, buah kecil berbentuk lentera berenda, rasanya manis getir, seperti rahasia kecil yang hanya diketahui oleh anak-anak desa.
Namun, ada juga hari penuh jerit, saat seekor ular besar ditemukan di liang calon septic tank rumah tetangga---tempat yang sering kupakai diam-diam untuk duduk dan menghafal pelajaran.
Hari itu, kaki kami berlarian lebih cepat daripada saat lomba tujuhbelasan. Aku tak berani menonton. Aku hanya bersembunyi di kamar sambil mendengar sorak orang-orang dewasa yang berhasil menangkapnya.
Katanya ular itu dijual ke Bonbin Surabaya. Katanya lagi, ular itu sudah tinggal lama di sana, menjadi penjaga tak kasatmata atas ketenanganku saat menghafal rumus pelajaran yang bukan sekadar urutan Pancasila. Entahlah. Tapi aku sempat minta maaf dalam hati---karena telah menjadikan area dekat liang itu ruang egois untuk duniaku sendiri.
Lalu ada juga satu pagi yang membuatku menangis. Saat pisau besar kakek kugunakan untuk menggeprek bekicot, seekor bebek nerombol tergoda aroma santapan. Ia menyambar terlalu cepat---dan... paruhnya ikut kegeprek. Lukanya tak besar, tapi cukup membuat dadaku remuk.