Lihat ke Halaman Asli

Keluargaku Terbelah Pilpres

Diperbarui: 19 April 2019   09:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumen Pribadi:  Lombok NTB

   Sejak merantau ke Nusa Tenggara Barat (NTB) di tahun 1950-an silam, keluarga pamanku sangat jarang berkomunikasi dengan keluargaku di Jawa. Hubungan keluarga kami nyaris saja terputus kecuali dengan paman dan bibi yang sudah sangat renta. Jauhnya jarak membuat kami sangat jarang berkomunikasi kecuali untuk urusan keluarga yang benar-benar perlu, dan itupun sebatas komunikasi antara orang tua kami. 

Kami nyaris tidak benyak mengenal anak-anak dan cucu-cucu paman yang kini tersebar di Lombok Barat, Utara dan Tengah. Hanya beberapa anak dan cucu paman yang kami kenal, dan itupun hanya mereka yang pernah menempuh pendidikan pesantren di Jawa, terutama Gontor Ponorogo, yang biasanya menjadikan rumah kami sebagai persinggahan. 

Kami baru mulai intens berkomunikasi setelah aku dan saudara-saudaraku mulai mandiri dan mapan secara ekonomi. Aku senang berkunjung ke rumah paman dan sepupuku yang dulu hanya sebuah desa pesisir yang sepi kini mulai berkembang ramai, bahkan menggeliat menjadi kawasan wisata yang permai. 

Sejak 4 tahun lalu hampir setiap tahun kami saling berkunjung dan kedekatan sebagai keluarga terjalin kembali. Melalui media sosial kami bahkan selalu saling menyapa, bercanda dan membuat rencana-rencana untuk bertemu kembali.

Kampanye pilpres sejak pertengahan tahun lalu turut mewarnai grup media sosial keluargaku. Aku hampir tidak pernah merespon setiap kali sepupu dan beberapa keponakanku mengkampanyekan capres idolanya. Rata-rata mereka mendukung capres-cawapres nomor 02, karena sepupu dan keponakanku mayoritas lulusan pesantren Gontor Ponorogo. 

Dukungan tokoh-tokoh pesantren Gontor terhadap Prabowo-Sandi seakan menjadi "fatwa" yang wajib diikuti oleh setiap alumni. Aku jarang menanggapi postingan-postingan mereka, dan hanya beberapa kali berusaha melurusakan postingan-postingan mereka yang setahuku hanyalah hoax, dan membuat kami kadang sedikit berdebat.  

Aku ringan saja menanggapi pandangan-pandangan mereka yang rata-rata seragam dengan pandangan para pendukung Prabowo-Sandi yang tersebar di media sosial. Aku bahkan sering menjawab dengan berkelakar setiap kali mereka mengolok-olok pilihanku dan mayoritas masyarakat di daerahku yang kebanyakan mendukung Jokowi. Aku bahkan selalu tertawa setiap kali mereka mendoakan aku agar segera diberi petunjuk (hidayah) agar kembali ke "jalan yang benar" menurut mereka.

Beberapa kali aku menegaskan ini hanya soal kontestasi politik, persaingan mereka yang ingin berkuasa, dan tidak ada hubungannya dengan agama. Aku benar-benar tak menganggap semua obrolan kami serius, karena bagiku obrolan politik sekedar sarana untuk tetap berkomunikasi dengan kerabat. 

Bahkan obrolan-obrolan politik sering kali aku peleset-pelesetkan menjadi candaan, sebab tidak ada di antara kami yang terjun ke dunia politik sehingga tidak ada relevansinya dengan keluarga kami. 

Berulangkali aku tegaskan, siapapun presidennya tak ada pengaruhnya buat aku dan mereka. Kami tetap di sini dengan berbagai kesibukan dan urusan kami sendiri, tapi mereka sepertinya tidak terima. Berulang kali mereka mengirimi aku berbagai tausiah agama berkenaan dengan keharusan memilih Prabowo-Sandi, bahkan ancaman menjadi kafir dan masuk neraka bila tidak mendukungnya. 

Tentu saja aku menjadikannya sebagai bahan kelakar saja, karena bagiku pilpres hanya urusan duniawi belaka, hingga aku bilang begini, "Aku hanya mungkin mengalihkan pilihanku kalau kamu atau salah satu dari keluarga kita dicalonkan jadi menteri di kabinet Prabowo-Sandi".

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline