Rama menenteng koper kecil ketika pertama kali masuk ke kos tua itu. Gang menuju bangunan sempit, kanan-kiri ditumbuhi tanaman liar. Dari luar, rumah dua lantai itu tampak lusuh; cat dindingnya mengelupas, kaca jendela buram, papan nama “Kos Putri–Putra” tergantung miring di dinding depan.
Ibu kos, seorang perempuan paruh baya dengan kerudung lusuh, menyerahkan kunci kamar sambil berkata, “Kamar kamu di lantai dua, nomor satu. Ingat, jangan usil sama kamar ujung. Itu sudah lama kosong.”
Nada suaranya datar, tapi sorot matanya tajam. Rama hanya mengangguk. Ia pikir itu sekadar larangan biasa agar anak kos tidak sembarangan.
Tangga kayu berderit setiap kali diinjak. Lorong lantai dua sempit, diterangi lampu neon redup yang terus berkelip, seperti hendak mati. Ada tiga pintu di sana: kamar nomor satu yang sekarang jadi milik Rama, kamar nomor dua dengan papan nama “Doni”, dan kamar nomor tiga—pintu kayunya kusam, gembok besar menempel di luar.
Udara di lorong itu lembap, bercampur bau apek. Dari langit-langit kadang terdengar bunyi tikus berlari.
Rama masih sibuk menata buku ketika malam turun. Angin dari jendela membuat tirai tipis berayun. Tepat pukul dua dini hari, ia mendengar suara aneh: kursi digeser, meja diseret, lalu suara pensil menulis cepat.
Ia berhenti membaca, menajamkan telinga. Sumbernya jelas dari arah kamar ketiga.
“Ah, mungkin ilusi,” gumamnya. Ia menutup telinga dengan bantal. Tapi suara itu justru semakin jelas, ritmis, teratur.
Pagi harinya, Rama bertemu penghuni kamar nomor dua di tangga. Doni, mahasiswa tingkat akhir, wajahnya pucat, matanya sembab seperti kurang tidur.
“Mas, semalam aku dengar suara dari kamar ujung. Katanya kosong ya?”
Doni berhenti sebentar, lalu tersenyum tipis. “Udah, jangan kepo. Kos ini memang begitu.” Ia langsung naik ke kamarnya tanpa menoleh lagi.