Lihat ke Halaman Asli

Nailah

Mahasiswi

Tanggapan Saya Sebagai Mahasiswi Terhadap Tulisan Pak Drs. Study Rizal LK, MA

Diperbarui: 14 September 2025   19:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber : Pinterest (https://id.pinterest.com/pin/3940718420159020/)

Tulisan Pak Study Rizal di Kompasiana yang berjudul "Kerusuhan sebagai Bahasa yang Putus: Membaca Tragedi, Arogansi Elite, dan Solusi Komunikasi Kritis" menarik perhatian saya sebagai mahasiswi, karena mengangkat fenomena demonstrasi yang sering terjadi di Indonesia dengan sudut pandang komunikasi kritis. Topik ini terasa relevan, terutama ketika demonstrasi kerap berubah menjadi kerusuhan yang menimbulkan kemarahan rakyat pada negara, tetapi justru merusak fasilitas publik yang juga milik rakyat.

Saya sependapat bahwa kerusuhan tidak bisa semata-mata dilihat sebagai tindakan kriminal, melainkan cermin dari akumulasi kekecewaan masyarakat yang tidak tertampung dalam saluran demokrasi formal. Kritik yang disampaikan penulis tentang komunikasi antara rakyat dan elite politik yang terputus sangat tepat, karena hal ini menjadi akar munculnya kekerasan simbolik maupun fisik dalam demonstrasi.

Namun, menurut saya tulisan ini juga bisa lebih menekankan peran masyarakat dalam menjaga kesadaran kolektif. Kerusuhan memang lahir dari situasi alienasi, tetapi masyarakat juga perlu membangun kapasitas untuk menyalurkan aspirasi secara lebih konstruktif. Jika tidak, kemarahan akan terus berulang dalam bentuk destruktif yang merugikan rakyat itu sendiri.

Saran saya, elite politik harus memperbaiki cara berkomunikasi dengan rakyat, menghindari gestur maupun ucapan yang memperlebar jurang kepercayaan. Di sisi lain, aparat keamanan juga harus lebih humanis agar tidak menambah trauma sosial. Sedangkan masyarakat sipil, termasuk mahasiswa, sebaiknya terus memperjuangkan aspirasi melalui cara-cara yang damai dan terorganisir, agar pesan yang disampaikan tidak hilang dalam kobaran api kerusuhan.

Dengan demikian, tulisan ini menjadi refleksi penting bahwa komunikasi politik bukan sekadar urusan kata-kata, tetapi menyangkut hidup dan mati demokrasi kita. Dari bahasa yang putus, seharusnya kita belajar untuk membangun kembali jembatan komunikasi yang lebih sehat antara rakyat dan negara.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline