Lihat ke Halaman Asli

Nanang A.H

TERVERIFIKASI

Penulis, Pewarta, Pemerhati Sosial

Membangun Kepemimpinan Intelektual: Mengapa Pejabat Publik Perlu Gemar Membaca Buku

Diperbarui: 2 Oktober 2025   15:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi diolah menggunakan AI

Di zaman sekarang, pejabat publik sering muncul di televisi atau media sosial untuk memberi komentar soal isu terbaru. Namun, menjadi pemimpin bukan hanya soal berbicara di depan kamera atau sekadar populer di dunia maya. Kepemimpinan sejati lahir dari kedalaman pikiran, kemampuan mengambil keputusan, dan kebijaksanaan. Semua itu tidak datang begitu saja. Salah satu cara terbaik untuk memperkaya diri sebagai pemimpin adalah dengan membaca buku.

Membaca bukan sekadar melihat deretan huruf. Dengan membaca, seseorang belajar memahami, mengkritisi, lalu menghubungkan isi bacaan dengan kehidupan nyata. Bagi pejabat publik, kebiasaan ini bisa menjadi bekal penting untuk memimpin dengan lebih bijak dan berpandangan luas.

Membaca Membentuk Pemimpin yang Lebih Bijak

Buku adalah jendela dunia. Melalui buku, pejabat bisa mengenal sejarah bangsanya, memahami nilai-nilai kemanusiaan, dan belajar dari pengalaman negara lain. Bung Hatta, misalnya, dikenal sebagai tokoh yang menjadikan buku sebagai sahabat hidup. Dari literasi yang luas, ia merumuskan gagasan koperasi untuk menyejahterakan rakyat kecil.

Kita juga bisa belajar dari kisah pemimpin dunia.

Barack Obama menegaskan bahwa kebiasaannya membaca buku membuatnya mampu memahami masyarakat secara lebih mendalam. Begitu pula Lee Kuan Yew, bapak pembangunan Singapura, yang mengaku banyak membaca untuk merancang strategi negaranya. Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa pemimpin yang rajin membaca cenderung memiliki visi lebih jauh ke depan.

Membaca Membantu Mengambil Keputusan

Seorang pejabat setiap hari dihadapkan pada banyak keputusan. Ada yang berdampak kecil, ada juga yang bisa mengubah nasib banyak orang. Membaca buku dapat membantu pejabat melihat masalah dari berbagai sudut pandang.

Misalnya, ketika membahas persoalan kesehatan, seorang pejabat yang rajin membaca tidak hanya melihatnya dari sisi medis. Ia juga bisa memahami dampak sosial, ekonomi, bahkan budaya. Pemahaman yang lebih luas inilah yang membuat kebijakan lebih matang dan tidak hanya reaktif terhadap situasi sesaat.

Selain itu, membaca juga melatih kemampuan berpikir kritis. Pejabat yang terbiasa membaca akan lebih berhati-hati dalam menerima informasi. Ia tidak mudah terjebak pada opini singkat atau berita palsu yang sering berseliweran di media sosial.

Membaca Menumbuhkan Empati dan Etika

Buku tidak hanya mengajarkan logika, tetapi juga menanamkan rasa kemanusiaan. Membaca novel, biografi, atau karya filsafat dapat menumbuhkan empati pada penderitaan orang lain. Hal ini penting bagi pejabat publik yang setiap keputusannya berhubungan langsung dengan nasib masyarakat.

Ketika seorang pejabat membaca kisah perjuangan tokoh bangsa atau pengalaman rakyat kecil, ia akan lebih sadar bahwa kekuasaan bukan untuk kepentingan pribadi, melainkan untuk melayani. Dari sinilah lahir kepemimpinan yang berakar pada nilai moral dan keadilan.

Tantangan Literasi di Kalangan Pejabat

Sayangnya, kebiasaan membaca di kalangan pejabat kita masih rendah. Ada beberapa alasannya. Pertama, birokrasi sering membuat pejabat sibuk dengan rapat, laporan, dan kegiatan seremonial. Kedua, perhatian banyak pejabat lebih sering tersita oleh media sosial dan pencitraan. Ketiga, fasilitas literasi di kantor pemerintahan pun belum banyak yang mendukung.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline