Lihat ke Halaman Asli

nadiva kholidiah

Mahasiswa Program Studi Akuntansi Syari'ah, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, Universitas Islam Negeri KH. Achmad Siddiq Jember

Harmoni antara Bisnis dan Iman dalam Ekonomi Syari'ah

Diperbarui: 24 September 2025   10:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

     Ekonomi syariah kini menjadi salah satu arus utama dalam perekonomian global, termasuk di Indonesia. Data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan bahwa industri keuangan syariah di Indonesia mengalami pertumbuhan konsisten, baik di sektor perbankan, pasar modal, maupun keuangan mikro. Namun, pertumbuhan ini tidak semata-mata dilihat dari angka aset dan profit, melainkan juga dari sisi nilai. Ekonomi syariah menempatkan iman sebagai fondasi utama, sehingga bisnis dipahami bukan sekadar aktivitas ekonomi, tetapi juga jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah.

     Dalam konteks ini, muncul pertanyaan mendasar: bagaimana bisnis yang berorientasi pada keuntungan dapat selaras dengan nilai iman yang menuntut keadilan, keberkahan, dan tanggung jawab sosial? Jawaban atas pertanyaan ini dapat ditemukan dalam filsafat dasar ekonomi syariah. Menurut Ritonga & Mawardi (2025), filosofi ekonomi syariah bertujuan menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Oleh karena itu, harmoni antara bisnis dan iman adalah sebuah keharusan, bukan pilihan.

Landasan Filosofis Ekonomi Syariah

Ekonomi syariah berangkat dari filsafat Islam yang menekankan tiga aspek utama: tauhid (keesaan Allah), keadilan ('adl), dan maslahah (kemanfaatan).

Tauhid menegaskan bahwa seluruh aktivitas, termasuk ekonomi, harus berorientasi pada pengabdian kepada Allah. Prinsip keadilan memastikan tidak ada pihak yang dizalimi dalam transaksi, sementara maslahah menekankan manfaat kolektif, baik bagi individu maupun masyarakat luas (Ritonga & Mawardi, 2025).

Dalam kajian filsafat ilmu, ekonomi syariah tidak sekadar mengatur hukum halal-haram transaksi, tetapi juga memberikan kerangka berpikir ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Secara ontologi, ekonomi syariah memandang harta sebagai titipan Allah yang harus digunakan untuk kebaikan. Dari sisi epistemologi, ilmu ekonomi syariah bersumber dari wahyu, akal, dan pengalaman empiris. Sementara aksiologi menekankan tujuan penggunaan ilmu ekonomi demi terwujudnya kesejahteraan lahir dan batin (Nihayah & Rifqi, 2023).

Filosofi ini menjadikan ekonomi syariah berbeda dari ekonomi konvensional. Jika sistem konvensional cenderung berlandaskan utilitarianisme---mengukur kebaikan dari manfaat material terbesar---maka ekonomi syariah menambahkan dimensi spiritual. Bisnis bukan hanya soal laba, tetapi juga soal keberkahan dan pertanggungjawaban di hadapan Allah (Roikhani, 2021).

Prinsip-Prinsip Praktis dalam Bisnis Syariah

Dari filosofi dasar, lahirlah prinsip-prinsip operasional yang menjadi pedoman bisnis syariah, antara lain:

1. Larangan riba, melarang bunga pinjaman karena dianggap menzalimi salah satu pihak. Praktik ini digantikan dengan sistem bagi hasil (profit and loss sharing).

2. Larangan gharar dan maysir, menghindari ketidakpastian berlebihan serta spekulasi yang tidak produktif. Hal ini penting untuk melindungi pihak yang lebih lemah dalam transaksi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline