Lihat ke Halaman Asli

Nadira Maia

Mahasiswa Ilmu Komunikasi

Melihat Realitas Kehidupan Bantar Gebang Melalui Novel Aroma Karsa

Diperbarui: 7 Mei 2025   16:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemulung Sedang Memilah Sampah di Tumpukan Sampah Bantar Gebang. (Suara.com/Fakhri Hermansyah) 

Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang di Bekasi dikenal sebagai salah satu pusat pengelolaan sampah terbesar di Indonesia. Di balik tumpukan sampah yang menggunung, tersembunyi kehidupan masyarakat pinggiran yang penuh perjuangan dan ketangguhan. Dee Lestari, melalui novelnya yang berjudul Aroma Karsa, menggambarkan realitas ini lewat karakter Jati Wesi, seorang pemuda dengan kemampuan indra penciuman luar biasa.
Dari perdagangan anak, kerja paksa, hingga kisah tragis para pemulung yang hilang atau meninggal di antara tumpukan sampah, Aroma Karsa berhasil membawa pembaca menyelami kerasnya kehidupan di Bantar Gebang. Artikel ini akan mengulas realitas sosial yang ada di TPA Bantar Gebang melalui perspektif Jati Wesi, sekaligus mengajak pembaca untuk memahami isu-isu sosial yang masih relevan hingga kini.

Jati Wesi: Simbol Ketangguhan dan Marginalisasi di Bantar Gebang

Jati Wesi merupakan tokoh utama dalam novel Aroma Karsa. Ia digambarkan sebagai seorang pemuda berusia 26 tahun yang tumbuh besar di TPA Bantar Gebang. Kehidupannya keras sejak kecil; sebagai anak yatim piatu yang diasuh oleh Nurdin Suroso, seorang penadah barang bekas. Jati memiliki julukan "Si Hidung Tikus" karena kemampuannya dalam mengenali aroma dengan sangat tajam.
Meski tumbuh di tengah tumpukan sampah, Jati berhasil mengasah kemampuan penciumannya secara otodidak hingga mampu meracik parfum. Hal tersebut menggambarkan ketangguhan warga Bantar Gebang yang mampu bertahan hidup dan mencari peluang di tengah keterbatasan yang ada. Namun, marginalisasi sosial tetap menjadi tembok penghalang bagi mereka. Di luar lingkungan Bantar Gebang, Jati kerap menghadapi stigma dan pandangan merendahkan dari masyarakat.

Realitas Kelam: Perdagangan Anak dan Kerja Paksa di Bantar Gebang

Salah satu realitas yang digambarkan Dee Lestari dalam Aroma Karsa adalah praktik perdagangan anak dan kerja paksa di Bantar Gebang. Nurdin memaksa Jati bekerja keras mengais barang bekas di tumpukan sampah, bahkan pada awalnya, Nurdin memaksa dengan mengancam Jati untuk tidak bersekolah. Pekerjaan itu tidak hanya berbahaya, tetapi juga melelahkan. Kisah Jati menjadi potret nyata dari banyaknya anak-anak di Bantar Gebang yang terjebak dalam kerja paksa demi bertahan hidup.
Marginalisasi sosial memperparah kondisi mereka. Anak-anak yang tumbuh di sana sering kali tidak mendapatkan akses pendidikan yang layak, membuat mereka sulit keluar dari lingkaran kemiskinan. Keberadaan mereka seakan tidak terlihat oleh masyarakat luar, seolah mereka hanya bagian dari tumpukan sampah yang diabaikan.

Bahaya Kerja dan Tragedi Pemulung di Bantar Gebang

Kehidupan sebagai pemulung di Bantar Gebang bukanlah tanpa risiko. Dalam Aroma Karsa, Dee Lestari menggambarkan betapa berbahayanya bekerja di antara tumpukan sampah. Salah satu contohnya adalah ketika Jati membantu salah satu tetangganya mencari suaminya yang tak kunjung pulang setelah memilah sampah. Berkat indra penciumannya, Jati berhasil menemukan jasad suami tetangganya yang tewas akibat tertimpa longsoran sampah. Kisah ini menggambarkan betapa nyawa para pemulung sering kali terancam oleh kondisi kerja yang tidak aman dan tumpukan sampah yang sewaktu-waktu bisa longsor.
Tidak jarang terjadi insiden tragis lainnya, seperti longsor sampah, kecelakaan alat berat, hingga pemulung yang hilang atau meninggal dunia. Hal tersebut selaras dengan laporan dari berbagai media yang sering memberitakan insiden mematikan di TPA Bantar Gebang. Kejadian-kejadian tersebut mencerminkan kurangnya perlindungan bagi para pekerja informal di sana yang keselamatannya sering kali diabaikan demi bertahan hidup.

Penemuan Mayat Bayi di Tumpukan Sampah 

Kisah yang tidak kalah pilu dalam Aroma Karsa adalah penemuan mayat bayi di antara tumpukan sampah. Saat Jati sedang pergi ke Prancis untuk belajar mengenai pembuatan parfum, Sukma membuka catatan pribadi Jati yang berisikan perjalanan aroma yang ia baui. Dalam catatan tersebut, Jati mengidentifikasi aroma jasad bayi di tumpukan sampah. Bagi Jati, kejadian ini bukanlah hal baru. Hidup di lingkungan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang membuatnya terbiasa menghadapi realitas yang keras dan memilukan. Fenomena ini menggambarkan dampak kemiskinan dan stigma sosial yang mendorong seseorang melakukan tindakan ekstrem seperti membuang bayi.
Penemuan tragis tersebut bukan hanya menunjukkan kerasnya kehidupan di Bantar Gebang, tetapi juga menyoroti ketimpangan sosial yang masih terjadi. Kemiskinan, keterbatasan akses kesehatan, serta tekanan sosial menjadi faktor utama di balik tindakan tidak manusiawi tersebut.

Marginalisasi Sosial dan Lingkungan Tidak Sehat di Bantar Gebang 

Bantar Gebang tidak hanya dipenuhi oleh tumpukan sampah, tetapi juga berbagai masalah lingkungan seperti polusi udara, air yang tercemar, dan bau menyengat. Jati, dengan indra penciumannya yang tajam, mampu mengenali aroma secara detail di tengah lingkungan keras tersebut.
Namun, ketika ia bekerja di perusahaan kosmetik Kemara, Jati dihadapkan pada prasangka dan stereotip dari beberapa pihak karena asalnya dari Bantar Gebang. Pada awalnya, ia dianggap tidak kompeten dan diremehkan oleh beberapa tokoh karena latar belakangnya sebagai orang miskin yang tinggal di kawasan tumpukan sampah. Hal ini menggambarkan betapa sulitnya warga Bantar Gebang mendapatkan pengakuan dan kesempatan yang adil di luar lingkungan mereka.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline