Fenomena tagar #BoikotTRANS7 yang menggema di media sosial beberapa waktu lalu menarik perhatian banyak kalangan. Ribuan santri dan alumni pesantren dari berbagai daerah bersatu menyuarakan kekecewaan mereka terhadap salah satu tayangan yang dinilai melecehkan martabat Pondok Pesantren Lirboyo. Dalam lanskap keislaman Indonesia, pesantren bukan hanya lembaga pendidikan tradisional, tetapi juga pusat otoritas moral dan spiritual. Kiai menempati posisi yang unik sebagai figur karismatik yang dihormati, dicintai, dan diikuti tidak hanya karena pengetahuannya, tetapi juga karena keberkahan (barakah) yang diyakini mengalir darinya (Dhofier, 2011). Ketika media arus utama---seperti tayangan Xpose Uncensored di Trans7 pada Oktober 2025---menyajikan narasi yang dinilai merendahkan kehidupan pesantren Lirboyo, gelombang protes pun muncul secara luas. Melalui tagar #BoikotTRANS7, para santri dan alumni dari berbagai daerah menggerakkan solidaritas digital sebagai bentuk pembelaan terhadap kehormatan kiai dan pesantren. Fenomena ini menunjukkan bagaimana relasi antara otoritas tradisional dan ruang digital mengalami transformasi yang signifikan.
Kharisma, sebagaimana dijelaskan Max Weber (1947), merupakan bentuk otoritas yang didasarkan pada pengakuan terhadap kualitas luar biasa seorang individu. Dalam konteks pesantren, kharisma kiai tidak hanya bersumber dari karunia personal, tetapi juga dari sistem simbolik dan praktik sosial yang terus direproduksi melalui tradisi, ta'dzim (penghormatan), dan sanad keilmuan. Namun, di era digital, kharisma tersebut kini diperluas melalui jejaring sosial, di mana para santri menjadi aktor aktif dalam memperjuangkan legitimasi simbolik terhadap kiai mereka. Fenomena ini menghadirkan konsep baru tentang digital charisma---yakni kharisma yang terdistribusi, dimediasi, dan diperjuangkan di ruang maya.
Edward Shils (1975) menegaskan bahwa kharisma tidak hanya melekat pada individu, melainkan dapat menjadi sifat dari lembaga, nilai, atau komunitas yang dianggap sakral. Dengan demikian, solidaritas para santri dalam gerakan #BoikotTRANS7 merupakan manifestasi dari collective charisma yang menegaskan kesetiaan spiritual terhadap pusat nilai yang mereka yakini. Sementara itu, Pierre Bourdieu (1991) melalui teori field dan symbolic capital membantu menjelaskan bahwa ruang digital menjadi arena baru bagi pertarungan makna antara media komersial dan komunitas keagamaan. Dalam arena ini, pesantren dan santri berupaya mempertahankan otoritas simbolik mereka melalui narasi tandingan yang menegaskan identitas religius dan martabat kiai.
Selain berakar pada teori Barat, pemikiran Islam Indonesia juga memberikan perspektif penting terhadap makna kharisma dan otoritas moral. Abdurrahman Wahid (1987) melihat pesantren sebagai pusat cultural broker yang menjaga keseimbangan antara nilai tradisional dan modernitas. Dalam konteks ini, gerakan digital santri bukan sekadar reaksi konservatif, melainkan strategi kultural untuk menegosiasikan ulang posisi pesantren di hadapan wacana publik modern. Penelitian Pam Nilan (2019) tentang digital religion among Indonesian youth juga menunjukkan bahwa santri kini menggunakan media sosial sebagai ruang untuk mengekspresikan identitas religius sekaligus memperluas pengaruh simbolik pesantren ke ranah global.
1. Kiai dalam Mediasi Digital: Antara Sakralitas dan Populisasi
Transformasi ruang digital menjadikan figur kiai tidak lagi terbatas pada ruang sakral pesantren, tetapi juga hadir sebagai aktor publik yang terlibat dalam arena mediasi simbolik. Temuan tulisan ini menunjukkan bahwa dalam wacana #BoikotTRANS7, para kiai tampil sebagai representasi moral yang "diserang", sehingga muncul gelombang pembelaan dari komunitas santri dan masyarakat pesantren. Fenomena ini menggambarkan terjadinya digital sacralization, yakni proses pemindahan otoritas religius ke dalam ruang digital tanpa kehilangan dimensi karismatiknya (Campbell, 2023). Dalam konteks Weberian, kharisma kiai tetap menjadi sumber legitimasi otoritas, namun bentuknya mengalami routinization baru melalui praktik komunikasi digital yang populis dan partisipatif.
Di sisi lain, mediasi digital juga menghadirkan ambivalensi antara sakralitas dan populisasi. Sebagian kiai kini memiliki kanal YouTube, akun TikTok, atau akun X (Twitter) dengan jutaan pengikut, sehingga kharisma mereka tidak hanya dibangun oleh reputasi spiritual, tetapi juga oleh performativitas media (Hjarvard, 2022). Fenomena ini menunjukkan logika mediazation of religion, di mana agama dan simbol keulamaan beradaptasi terhadap mekanisme visibilitas media (Couldry & Hepp, 2020). Dalam kasus #BoikotTRANS7, sakralitas kiai tidak tereduksi, melainkan direproduksi dalam bahasa digital yang memungkinkan partisipasi luas tanpa menghilangkan aura tradisionalnya.
2. Santri sebagai Komunitas Afektif di Ruang Virtual
Gerakan #BoikotTRANS7 menunjukkan bagaimana santri memanfaatkan ruang digital sebagai bentuk ekspresi afektif terhadap kiai dan pesantrennya. Narasi digital yang muncul tidak hanya bernada pembelaan rasional, tetapi juga emosional dan simbolik---menandakan terbentuknya komunitas afektif (Shils, 1975/2002) dalam wujud baru. Dalam perspektif Shils, afeksi terhadap figur otoritatif merupakan energi sosial yang meneguhkan solidaritas komunitas. Di ruang digital, afeksi itu termanifestasi melalui repetisi simbolik seperti penggunaan foto kiai, narasi doa, dan kutipan kitab kuning yang disebarkan melalui unggahan santri. Hal ini memperlihatkan adanya digital ummah---sebuah jaringan spiritual yang memperluas jangkauan komunitas pesantren melampaui ruang geografisnya (Nilan & Fealy, 2021).
Fenomena ini juga memperlihatkan kemampuan santri dalam mengartikulasikan keislaman yang berbasis tradisi dengan cara yang sangat kontemporer. Penggunaan tagar, meme, dan video pendek menunjukkan bahwa ekspresi keagamaan kini bergerak dari teks ke konteks, dari doktrin ke narasi emosional (Hoesterey, 2023). Santri bukan lagi sekadar penerus tradisi, tetapi juga cultural agents yang mereproduksi nilai keulamaan dalam format digital. Dengan demikian, ruang virtual berfungsi sebagai arena reproduksi nilai-nilai pesantren, yang memperkuat identitas kolektif sekaligus memperluas pengaruh moral pesantren ke ranah publik nasional.