Lihat ke Halaman Asli

Gigih Mulyono

Peminat Musik

Hembusan Angin Cemara Tujuh 15

Diperbarui: 20 Mei 2018   05:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

"Leluhur kita adalah para pejuang yang gigih, tabah dan tahan menderita , berani bergerilya melawan Belanda " ujar ibu Sutopo mencoba menjelaskan siapa leluhurnya, yang konon adalah pengikut dekat Pangeran Diponegoro.

" Keinginanmu kembali ke Yogya itu menunjukkan kelemahanmu, kamu pasti menemui kesulitan kesulitan kecil di Jakarta. Kamu tidak  berusaha untuk menghadapi tantangan itu, tetapi malah tergesa gesa ingin melarikan diri, mencari tempat yang nyaman, aku tidak setuju itu, Anak anakku harus tegar dan bersahabat dengan segala masalah . Karena seberapa besarpun dan rumitnya  masalah itu selalu ada jalan keluarnya . Topo, kalau kamu masih mau mendengar pendapat ibumu, kamu harus jauh dari orang tuamu, dari keluarga besarmu. Kamu harus menjadi kuat dan tumbuh melewati dan mengatasi kesulitan, luka dan kecewa".

Sutopo tunduk tak kuasa bicara, matanya berkaca kaca. Mendengar Ibunya berujar seperti Hakim yang siap mengetok palu. Tidak pernah Ibunya bicara sepanjang itu, dan kelihatannya masih belum mau berhenti.

Hening sejenak, angin bertiup mengelus pepohonan rindang tinggi di sekitar rumah , mengiringi perjalanan Mentari yang semakin memancar hangat.

" Kamu harus melepaskan warisan pemikiran dari orang orang tua kita, pemikiran mangan Ora mangan asal ngumpul, pemikiran rumpun pisang gedebok yang dikerumuni anak2nya yang tumbuh disekitarnya, ragamu harus jauh dari keluarga besarmu, baru engkau lebih kuat dan lebih memahami arti bertanggung jawab"

Ibunya berhenti sejenak, bapaknya hanya diam tidak memotong kata kata ibunya, hanya mendengarkan.

" Tapi terserah kamu Po, kamu sudah 24 tahun sudah dewasa, ibumu hanya memberi saran." Ibunya mengakhiri pembicaraan.

Sutopo belum mampu berkata kata, jeda panjang , hanya suara burung prenjak mengisi kekosongan selasar dan halaman dalam rumah itu.

" ya bu, dalem akan memikirkan itu, dan ijin saya akan siap siap" akhirnya Sutopo bisa berujar dan lengser masuk ke kamarnya.

Sutopo membanting keras tubuhnya di pembaringan. Telentang, Wajahnya menatap nanar genting kehitaman dibalik usuk kayu di kamarnya.  Ibunya tadi tidak memberi saran, tapi memaksa, batin Sutopo. Pandangan ibunya itu anomali tidak seperti layaknya pemikiran orang orang di desanya , yang selalu menginginkan berdekatan dengan saudara saudaranya, anak anaknya.

Apakah ibunya kerasukan?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline