Lihat ke Halaman Asli

Ika Mulya

Melarung Jejak Kisah

Cerpen | Rahasia Amplop Lebaran

Diperbarui: 2 Mei 2020   13:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber: Pixabay

Tidak ada yang lebih kurindukan, selain berlama-lama di rumah Bapak pada hari lebaran. Berkumpul bersama adik-adik, dua ipar, dan para keponakan adalah kenikmatan yang luar biasa. Tumpah ruah semua cerita dan senda gurau. Di luar itu, ada saja tradisi keluarga yang masih dipertahankan, walaupun kami bukan anak-anak lagi. Salah satunya, bagi-bagi angpao. Sampai di malam takbiran ini, terkuak sebuah rahasia di balik amplop lebaran yang Bapak berikan kepadaku.

***
"Tolong diingat baik-baik, Bapak ngasih ini bukan sebagai hadiah karena kalian rajin puasa, ngaji, juga teraweh. Tapi, karena Bapak lagi senang, lagi banyak rezeki. Panen jagung kebun kita berlimpah," jelas Bapak, usai aku dan Dwipa sungkeman. Di tangannya ada tiga amplop kecil warna putih.

Emak yang duduk di samping Bapak, ikut menjelaskan. "Isinya dijamin sama banyak, supaya ndak ada saling iri sesama saudara. Terserah mau dipakai apa, yang penting jangan lupa sedekah. Dan, doakan Bapak sama Emak agar dilimpahi rezeki halal yang berkah." Ucapan Emak terdengar lebih serius daripada Bapak.

Kemudian, Bapak menyerahkan amplopnya kepada kami.

Seingatku, itulah kali pertama tradisi bagi-bagi angpao Bapak lakukan. Aku baru kelas satu SMA--hampir 30 tahun lalu. Aneh! Ya, ada yang aneh dengan pembagian amplop lebaran tersebut. Pasalnya, Trias masih bayi. Adik bungsuku itu baru berumur tiga bulan. Buat apa bayi diberi angpao juga? Namun, aku tak banyak tanya. Emak pasti berdalih demi asas keadilan.  

Amplop pertama yang kami terima berisi uang sejumlah seratus ribu rupiah. Nominal yang sangat besar di zaman itu. Dua kali lipat dari uang sakuku sebulan. Apalagi buat Dwipa yang masih kelas tiga SD. Dia gembira luar biasa, merasa bisa membeli semua mainan di gerobak Lek Bejo. Entah apa yang terjadi dengan isi amplop milik Trias. Aku dan Dwipa tidak pernah meributkan soal itu.

"Kamu sudah bersedekah, Nduk?" tanya Bapak beberapa hari setelah lebaran. Beliau ingin memastikan apakah permintaannya sudah dilaksanakan.

Aku menggeleng pelan.

Bapak tampak masygul. "Kenapa belum? Uangmu sudah habis?"

"Baru aja pulang dari pasar, beli bakiak-bakiak ini buat di langgar. Tadinya mau titip Bapak, tapi Bapak udah keburu pergi. Aku malu kalau harus ke sana sendirian," jawabku jujur.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline