JAKARTA -- Kelangkaan dan meroketnya harga elpiji 3 kg di Jakarta bukanlah sekadar masalah ekonomi, melainkan sebuah krisis yang berakar dari kelalaian hukum Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. Dengan mempertahankan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 4 Tahun 2015 yang usang, Pemprov secara de facto telah menciptakan sebuah "jebakan regulasi" yang melumpuhkan hukum itu sendiri dan membuka pintu lebar-lebar bagi para mafia gas.
Dari kacamata hukum, sikap diam Pemprov bukanlah kebijakan yang hati-hati, melainkan sebuah pembiaran yang memiliki konsekuensi yuridis yang serius.
1. Pemprov Melanggar Kewajiban, Ciptakan 'Hukum Mati'
Kewenangan Pemprov untuk menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET), sebagaimana diatur dalam Pasal 24A Permen ESDM No. 28 Tahun 2021, bukanlah hak pasif, melainkan kewajiban aktif untuk memastikan aturan berjalan efektif. Dengan membiarkan HET Rp16.000 menjadi angka fiktif yang mustahil ditegakkan, Pemprov telah mengubah Pergub tersebut menjadi "hukum yang mati".
Tindakan ini secara terang-terangan melanggar Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB), terutama Asas Kepastian Hukum dan Asas Kemanfaatan. Tidak ada kepastian hukum bagi agen, pangkalan, dan konsumen. Kebijakan ini juga terbukti tidak bermanfaat bagi rakyat kecil yang justru terpaksa membeli dengan harga pasar gelap yang liar.
2. Kebijakan Usang Menjadi 'Pabrik' Kejahatan
Inilah dampak hukum paling mengerikan. Kebijakan HET yang timpang dengan daerah penyangga telah menciptakan insentif ekonomi yang sempurna bagi tindak pidana yang diatur dalam Pasal 55 Undang-Undang Migas. Penyelundupan dan pengoplosan gas bukan lagi "kenakalan oknum", melainkan kejahatan terorganisir yang dipicu langsung oleh regulasi yang cacat.
Penggerebekan sindikat oplosan gas di Jakarta Timur dan Jakarta Utara oleh Bareskrim Polri yang merugikan negara belasan miliar rupiah adalah bukti sahihnya. Kebijakan Pemprov telah menciptakan kondisi kriminogenik, yaitu sebuah lingkungan yang secara sistematis menyuburkan kejahatan. Dengan kata lain, aturan usang ini telah menjadi "pabrik" yang memproduksi kriminalitas.
3. Hak Konsumen Diabaikan Negara
Undang-Undang Perlindungan Konsumen menjamin hak warga untuk mendapatkan barang sesuai harga yang ditetapkan dan informasi yang benar. Dengan membiarkan pasar dikuasai harga gelap yang mencapai Rp30.000, Pemprov telah gagal total menjalankan amanat ini. Negara, dalam hal ini Pemprov DKI, seolah absen dan membiarkan warganya berhadapan langsung dengan mekanisme pasar yang brutal tanpa perlindungan hukum.
Pada akhirnya, desakan untuk merevisi Pergub ini bukan lagi sekadar soal menaikkan harga. Ini adalah panggilan untuk memulihkan supremasi hukum. Pertanyaannya bukan lagi "kapan harga disesuaikan?", tetapi "sampai kapan Pemprov akan membiarkan aturannya sendiri menjadi bahan tertawaan dan sumber keuntungan bagi para penjahat?".