Lihat ke Halaman Asli

Belajar Bijak dari Karya Cak Nun

Diperbarui: 26 Juli 2017   14:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bila berkunjung ke toko buku, kumpulan esai Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) adalah koleksi yang paling gampang ditemui. Slilit Sang Kiai, Markesot Bertutur,dan Markesot Bertutur Lagiadalah beberapa di antaranya. Yang menarik, tulisan-tulisan tersebut adalah karya lama. Kemudian, dicetak ulang, lagi dan lagi. Artinya, terdapat proses "menembus zaman" di sana.

Pada April 2013 lalu, kumpulan esai yang kembali diterbitkan Penerbit Buku Kompas berjudul Indonesia Bagian Dari Desa Saya. Sebelumnya, mushaf tersebut sudah dua kali terbit. Yakni, pada 1983 dan 1993. Di dalamnya, terdapat 27 esai karya suami Novia Kolopaking ini. Rata-rata ditulis pada rentang 1970-an atau saat lelaki kelahiran 1953 ini masih berumur kepala dua.

Alasan Penerbit Buku Kompas menerbitkan buku ini---sama dengan penerbit lain yang mencetak ulang buku budayawan kelahiran Jombang ini--- adalah karena tulisan ayah dari Noe Letto tersebut dianggap masih relevan dengan kondisi kekinian.

Mungkin dapat ditambahkan pula alasan lain. Yakni, pasar untuk buku Cak Nun. Jamaah Maiyah, sebutan bagi penyuka pengajian yang turut digelorakannya, tergolong loyal dan makin membesar hingga kini.

Pengajian yang biasa pula disebut Maiyahan ini digelar di sejumlah kota tiap bulan sekali. Antara lain di Jakarta (dengan nama Kenduri Cinta), Surabaya (Bangbang Wetan), Yogyakarta (Mocopat Syafaat), Malang (Obor Ilahi), Jombang (Padhang Mbulan), Semarang (Gambang Syafaat), dan lain sebagainya.

Mengupas Indonesia Bagian dari Desa Saya

Membaca tulisan demi tulisan di Indonesia Bagian dari Desa Saya,membuka pengetahuan tentang karakter rural dan urban di masa lalu. Sejak 1970-an, ketercampuran kultur sudah menjadi perhatian di masyarakat.

Gengsi-gengsian, sok-sokan, narsis, dan anggapan jika yang modern adalah yang paling benar, sudah mulai mengakar pada masa itu. Saat itu, orang desa berbondong-bondong beli televisi padahal belum paham bahasa Indonesia yang digunakan di TV. Mereka jor-joran beli sepeda motor padahal rumahnya masih gedek.

Melalui tulisannya, Cak Nun memprediksi jika kemutakhiran teknologi dan budaya asing yang terus merangsek bakal membuat zaman makin edan. Dalam catatan penulis, dia mengatakan kalau zaman edan di masa lalu membuat kepala orang pusing. Sedangkan zaman edan sekarang ini sukses membuat kepala nyaris pecah (hal: XIII).

Kebersamaan, pengakraban, penyatuan, komitmen, solidaritas dengan sesama, dan kearifan lokal terancam luntur. Sudah tak mungkin mencari pedagang cendol yang tidak berkenan cendolnya diborong Pak Kyai di pagi hari, karena takut mengecewakan calon pembelinya di siang hari (Kebijaksanaan Cendol,hal. 57)

Dalam esai Indonesia Bagian Dari Desa Saya(hal: 248), Cak Nun mencuplik fenomena politik uang jelang pemilu yang terjadi di desa lebih dari tiga dekade silam. Ada seorang calon legislatif yang membagi-bagikan uang pada masyarakat seraya berteriak, "Ini saya belum jadi anggota DPR, saudara sudah saya kasih uang cuma-cuma. Bayangkan jika saya sudah menjadi anggota dewan?!"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline