Lihat ke Halaman Asli

Muh Khamdan

TERVERIFIKASI

Researcher / Analis Kebijakan Publik

Pemimpin Autentik Pamer Buku, Pemimpin Palsu Pamer Harta

Diperbarui: 29 September 2025   00:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi pejabat lebih sering pamer kekayaan (Sumber: sinergifoundation.org)

Di tengah gegap gempita media sosial, pejabat publik kita tampaknya lebih gemar memamerkan kemewahan ketimbang kedekatan dengan buku. Mobil mewah, jam tangan mahal, hingga liburan ke luar negeri kerap dipublikasikan dengan bangga. Namun, jarang sekali kita melihat pejabat yang berbagi tentang buku terakhir yang dibacanya, atau gagasan apa yang ia temukan dari literatur untuk memperkaya kebijakan yang tengah digodok. Fenomena ini menunjukkan adanya pergeseran orientasi, dari kepemimpinan berbasis gagasan menuju kepemimpinan berbasis simbol status.

Padahal, membaca bukan sekadar aktivitas intelektual, tetapi juga fondasi dari kepemimpinan yang autentik. Buku menyimpan pengalaman panjang manusia, dari sejarah, strategi, hingga pemikiran filosofis. Seorang pejabat yang terbiasa membaca akan lebih siap menghadapi kompleksitas tantangan bangsa dibandingkan pejabat yang hanya sibuk menata citra. Tanpa buku, kebijakan mudah jatuh pada pragmatisme sesaat, reaktif terhadap tekanan publik, tanpa perencanaan jangka panjang.

Masyarakat kita sesungguhnya merindukan pejabat yang mampu melahirkan gagasan besar. Namun, bagaimana mungkin gagasan besar hadir bila membaca satu buku saja menjadi kesulitan? Jika seorang pejabat tak terbiasa membuka pikiran lewat literasi, bagaimana ia bisa mengelola kompleksitas negara selama lima tahun masa jabatan? Kepemimpinan tanpa literasi ibarat kapal tanpa kompas atau hanya berlayar mengikuti arah angin.

Pemimpin yang sibuk pamer kemewahan hanya memuaskan ego sesaat. Tapi pemimpin yang tekun membaca buku membangun warisan gagasan yang melampaui masa jabatannya, menyentuh rakyat, melampaui zaman. 

Literasi membaca buku seharusnya menjadi kebiasaan dasar seorang pejabat, bukan pilihan opsional. Karena membaca membuka ruang kontemplasi, memperkaya perspektif, dan menumbuhkan kepekaan sosial. Tanpa itu, pejabat cenderung mengambil jalan pintas. Meng-copy kebijakan negara lain tanpa adaptasi, mengandalkan laporan birokrasi tanpa analisis kritis, atau bahkan menyerahkan keputusan strategis pada konsultan semata.

Bayangkan seorang pejabat yang setiap pekan membaca satu buku, baik tentang kepemimpinan, ekonomi, maupun sosiologi masyarakat. Ia tidak hanya akan memperkaya kosakata gagasan, tetapi juga melatih kemampuan berpikir cepat, sebuah modal penting dalam menghadapi krisis. Pemimpin yang terbiasa membaca akan mampu menghubungkan titik-titik persoalan kecil menjadi peta besar solusi.

Sebut saja karya Stephen Covey berjudul The 7 Habits of Highly Effective People. Buku ini mengajarkan disiplin, integritas, dan proaktivitas, nilai dasar yang seharusnya melekat pada pejabat publik. Atau Humble Leadership karya Peter Schein, yang menekankan pentingnya rendah hati dalam memimpin. Sementara The 5 Levels of Leadership dari John Maxwell memberikan peta jelas tentang tahapan kepemimpinan yang efektif. Ketiganya bisa menjadi bacaan wajib pejabat untuk melahirkan kebijakan yang tidak sekadar prosedural, tetapi juga manusiawi.

Sayangnya, bacaan-bacaan semacam itu jarang masuk dalam rutinitas pejabat kita. Waktu lebih banyak dihabiskan untuk rapat formal, seremoni simbolis, atau sekadar menyiapkan konten pencitraan di media sosial. Kebijakan pun lahir dalam kondisi tergesa-gesa, insidental, dan sering kali tidak menyentuh akar persoalan masyarakat.

Membaca buku sebenarnya bukan soal intelektualitas semata, melainkan soal empati. Lewat literasi, pejabat dapat memahami perspektif warga yang berbeda, menelusuri sejarah masalah, hingga memproyeksikan dampak kebijakan ke depan. Tanpa itu, keputusan sering kali hanya berpihak pada elite, meninggalkan rakyat dalam kesenjangan.

Kepemimpinan autentik lahir dari kesediaan untuk terus belajar. Pemimpin autentik bukanlah mereka yang merasa paling tahu, melainkan yang rendah hati membuka diri terhadap pengetahuan baru. Membaca buku adalah bentuk kerendahan hati intelektual atau pengakuan bahwa pengalaman pribadi saja tidak cukup untuk mengelola negara.

Di era serba cepat seperti sekarang, justru pejabat yang terbiasa membaca akan mampu berpikir cepat. Karena ia memiliki "perpustakaan ide" dalam benaknya, sehingga ketika krisis datang, ia tidak panik, melainkan sigap menghubungkan gagasan yang sudah ia serap dari literatur. Berbeda dengan pejabat yang jarang membaca, yang kebijakannya hanya sebatas reaktif terhadap trending topic.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline