Lihat ke Halaman Asli

Muh Khamdan

TERVERIFIKASI

Researcher / Analis Kebijakan Publik

Anggaran Triliunan MBG Jadi Pertaruhan, Gizi Instan atau Pendidikan Berkualitas?

Diperbarui: 24 September 2025   12:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi siswa menikmati menu makan bergizi gratis (Sumber: ugm.ac.id)

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang sejak awal digadang sebagai solusi peningkatan gizi anak sekolah kini menghadapi ujian berat. Bukan hanya karena 5.626 kasus keracunan massal di 16 provinsi, tetapi juga karena kritik tajam soal efektivitas penggunaan anggaran jumbo Rp335 triliun.

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan anggaran negara tidak boleh menganggur. Jika MBG tak bisa dijalankan maksimal, dana itu harus segera dialihkan ke program lain yang lebih siap. Salah satunya adalah sektor pendidikan, yang justru kini terancam stagnan karena sebagian alokasi terserap untuk MBG.

Di lapangan, protes orang tua semakin keras. Mereka bukan lagi bicara soal manfaat gizi, melainkan soal keamanan. Anak-anak mereka yang semestinya sehat justru jatuh sakit setelah mengonsumsi menu MBG. Sementara itu, pemerintah terus berpacu antara menyelamatkan citra dan menutup lubang kebijakan.

Banyak kalangan menilai, pengalihan anggaran ke pendidikan lebih masuk akal. Sekolah masih kekurangan ruang kelas, guru, hingga fasilitas belajar. Anggaran Rp335 triliun bisa menopang pembangunan gedung baru, peningkatan mutu pengajar, hingga digitalisasi sekolah. Semua itu lebih berkelanjutan ketimbang menu makanan yang kualitasnya meragukan.

Anggaran bukan sekadar angka. Ia adalah harapan. Rp335 triliun seharusnya menjelma menjadi ruang kelas yang layak, guru yang berkualitas, dan lahan pertanian yang subur. Bukan menu instan yang meracuni, tapi masa depan yang menyehatkan.

Selain pendidikan, sektor pertanian juga disebut-sebut layak menerima limpahan dana MBG. Infrastruktur pertanian masih jauh dari memadai. Irigasi rusak, akses jalan tani buruk, hingga gudang penyimpanan hasil panen yang minim. Jika sebagian dana MBG dialihkan, efeknya akan langsung terasa pada produktivitas petani desa.

Dari sisi kebijakan, evaluasi menyeluruh memang sudah digadang dengan pembentukan Satgas KLB. Namun langkah ini lebih banyak bersifat reaktif. Fakta ribuan kasus keracunan membuktikan pengawasan tidak berjalan baik sejak awal. Alih-alih terus menambal masalah, pemerintah dinilai lebih bijak mengalihkan fokus.

Kepala Kantor Staf Presiden Muhammad Qodari mengungkap adanya perbedaan data antar lembaga tentang jumlah korban MBG. BGN mencatat 5.080 korban, Kemenkes 5.207, dan BPOM 5.320. Data yang tak sinkron ini mempertegas lemahnya koordinasi. Bagaimana mungkin program triliunan rupiah tak punya basis data tunggal?

Pengamat kebijakan publik banyak menilai, MBG terlalu ambisius dijalankan tanpa peta jalan matang. Dari dapur seadanya, menu ultra-proses, hingga distribusi makanan yang tak higienis. Semua menumpuk menjadi bom waktu. Lebih baik berhenti sejenak, evaluasi, dan alihkan anggaran ke sektor yang benar-benar siap.

Jika uang rakyat sebesar Rp335 triliun dialihkan ke pendidikan dan pertanian, manfaatnya berlapis. Anak-anak tetap mendapat dukungan melalui fasilitas sekolah yang lebih baik, sementara desa-desa penghasil pangan bisa tumbuh lebih produktif. Efek domino ini akan menguatkan ketahanan gizi anak secara alami, bukan dengan menu instan sekali makan.

Ketahanan gizi tidak lahir dari makanan sekali saji, tapi dari pendidikan yang kuat dan pertanian yang berdaya. Uang rakyat harus kembali pada rakyat, dengan mencerdaskan anak, menyehatkan desa, dan menumbuhkan harapan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline