Lihat ke Halaman Asli

Muh Khamdan

TERVERIFIKASI

Researcher / Analis Kebijakan Publik

147 Negara Akui Palestina, Israel Malah Menyerang Qatar: Dunia Menuju Titik Balik Sejarah

Diperbarui: 16 September 2025   22:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi seorang warga Palestina mengibarkan bendera Palestina (Sumber: voaindonesia.com)

Krisis terbaru di Timur Tengah pasca serangan Israel ke Doha pada 9 September 2025 bukan sekadar insiden militer, melainkan pukulan telak terhadap norma diplomasi internasional. Ironinya, ketika Menlu AS Marco Rubio berharap Qatar tetap menjadi mediator gencatan senjata Israel--Hamas, Tel Aviv justru merespons dengan aksi arogan yang mengoyak sendi-sendi kepercayaan regional.

Serangan yang melibatkan 12 jet tempur Israel, terdiri dari delapan F-15 dan empat F-35, yang menembakkan rudal dari Laut Merah, menembus wilayah udara Arab Saudi, hingga menghantam bangunan di Doha, bukan hanya pelanggaran kedaulatan. Tindakan ini adalah bentuk agresi militer yang mengabaikan hukum internasional dan norma paling mendasar dalam hubungan antarnegara. Qatar menyebutnya "barbarik", sebuah istilah yang secara diplomatis sarat makna, karena menunjukkan eskalasi bukan sekadar militer, tetapi juga moral.

Dalam perspektif diplomasi modern, tindakan Israel justru melemahkan upaya kolektif mencari solusi damai. Diplomasi modern bebas-aktif menekankan fleksibilitas, keterlibatan, dan keberanian mengambil posisi tegas tanpa harus terjebak dalam blok geopolitik tertentu. Qatar selama ini memainkan peran sebagai mediator yang dihormati, meski tidak sempurna. Namun serangan Israel justru merusak ruang diplomasi itu sendiri.

Konteks serangan Israel terhadap Qatar juga tidak bisa dilepaskan dari dinamika sebelumnya. Pada Juni 2025, Iran menyerang pangkalan udara AS di Qatar. Dua bulan berselang, Israel menggempur Doha. Dua serangan beruntun ini menjadikan Qatar sebagai episentrum krisis kawasan, menempatkannya dalam posisi sulit. Di satu sisi berhadapan dengan Iran, di sisi lain menjadi target Israel. Hal ini menunjukkan betapa rapuhnya pertahanan nasional dalam menghadapi ancaman lintas batas di era modern.

Ketika mediator damai menjadi target rudal, dunia harus memilih. Membiarkan hukum internasional runtuh, atau berdiri bersama membela kedaulatan dan martabat bangsa. Qatar menunjukkan bahwa diplomasi kolektif bisa lebih tajam daripada serangan udara. 

Bagi Qatar, opsi membalas secara militer terhadap Israel nyaris mustahil. Perimbangan kekuatan tidak berpihak pada Doha. Namun, sebagaimana dikatakan Perdana Menteri Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al-Thani, Qatar menempuh strategi "respons regional kolektif". Ini adalah pilihan realistis berbasis diplomasi pertahanan: membangun konsensus dengan negara Teluk dan mitra lain agar tindakan Israel tidak dibiarkan tanpa konsekuensi.

Pendekatan diplomasi kolektif ini relevan dengan prinsip pertahanan nasional modern. Dalam teori pertahanan, keamanan tidak lagi semata soal militer, melainkan juga legitimasi politik, solidaritas regional, dan kemampuan membangun jejaring aliansi. Qatar memilih jalur ini karena memahami bahwa kekuatan senjata tidak sebanding dengan kekuatan konsensus diplomatik yang mengisolasi Israel.

Serangan Israel juga menimbulkan pertanyaan besar mengenai komitmen Amerika Serikat. Di satu sisi, Washington melalui Menlu Marco Rubio mendorong Qatar tetap menjadi mediator gencatan senjata. Namun di sisi lain, AS tetap menjadi penyokong utama kekuatan militer Israel. Kontradiksi ini melemahkan kredibilitas AS sebagai promotor perdamaian.

Fenomena ini sekaligus menunjukkan paradoks diplomasi modern, yaitu mediator justru menjadi korban. Bagaimana mungkin Qatar memainkan peran netral bila wilayahnya diserang langsung oleh pihak yang seharusnya didorong ke meja perundingan? Ini menciptakan dilema diplomasi yang serius, di mana posisi mediator berpotensi runtuh jika tidak mendapat perlindungan internasional.

Dalam kacamata perang dan perdamaian, serangan Israel ke Doha juga bisa dilihat sebagai upaya memperluas zona konflik. Israel mengirim pesan bahwa tak ada tempat aman bagi kelompok Hamas, bahkan di jantung ibu kota negara lain. Namun, implikasi strategisnya berbahaya bahwa Israel justru membuka front baru dengan negara Teluk yang sebelumnya relatif menjaga jarak dari eskalasi langsung.

Di sisi lain, pengakuan kedaulatan Palestina oleh Luxemburg pada Sidang Majelis Umum PBB menambah dimensi baru. Hingga Agustus 2025, 147 negara anggota PBB telah resmi mengakui Palestina, termasuk enam negara berpengaruh, meliputi Prancis, Inggris, Kanada, Australia, Jepang, dan Luxemburg. Tren ini semakin mengisolasi Israel secara diplomatik, meski Tel Aviv masih memiliki kekuatan militer yang dominan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline