Dalam lanskap pertahanan modern yang semakin kompleks, Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) merancang kebijakan strategis dengan merekrut 24.000 prajurit Tamtama baru. Perekrutan ini tidak hanya didorong oleh kebutuhan organisasi, tetapi juga oleh visi besar Presiden Prabowo Subianto dalam membentuk Batalyon Infanteri Teritorial Pembangunan yang tersebar di seluruh kabupaten di Indonesia. Konsep ini diyakini akan menopang ketahanan nasional tidak hanya dari sisi pertahanan keamanan, tetapi juga pembangunan kesejahteraan masyarakat.
Pembentukan batalyon ini, digagas Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin dalam Rapat Kerja dengan Komisi I DPR pada 25 November 2024. Gagasan ini juga mencerminkan paradigma baru dalam pendekatan pertahanan, bahwa stabilitas sosial dan ekonomi dianggap sebagai bagian integral dari kekuatan pertahanan nasional. Setiap Batalyon Teritorial Pembangunan nantinya akan terdiri atas empat kompi fungsional, yaitu kompi pertanian, peternakan, medis, dan zeni. Model ini dianggap adaptif terhadap tantangan multidimensi yang tidak hanya datang dari kekuatan militer asing, tetapi juga dari kerawanan domestik seperti krisis pangan dan bencana alam.
Namun, di tengah pujian atas inovasi ini, muncul kekhawatiran tentang kaburnya batas antara fungsi militer dan sipil. Melibatkan tentara dalam kegiatan pertanian, peternakan, hingga layanan kesehatan memang dapat mempercepat pencapaian target pembangunan, namun juga mengandung potensi militerisasi ruang sipil yang pernah menjadi catatan sejarah kelam pada masa Orde Baru. TNI adalah instrumen pertahanan negara, bukan institusi pelaksana pembangunan.
Ketahanan nasional tak dibangun dari bajak sawah oleh prajurit, melainkan dari sinergi peran, tentara menjaga kedaulatan, sipil membangun kesejahteraan. Di sanalah bangsa kuat berdiri, saat fungsi tidak tumpang tindih, dan strategi berpijak pada kekuatan masing-masing.
Tugas Operasi Militer Selain Perang (OMSP) yang dirinci menjadi 16 kegiatan, memang menjadi mandat TNI sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang TNI. Namun, OMSP semestinya difokuskan pada penanggulangan terorisme, pemberantasan separatisme, dan membantu penanggulangan bencana, bukan mengambil alih fungsi kementerian teknis. Pembangunan depot logistik pangan misalnya, sebaiknya ditangani oleh Kementerian Pertanian yang memiliki struktur, tenaga ahli, dan pengalaman operasional di bidangnya.
Jika TNI AD terlalu dalam terlibat dalam ranah pembangunan sipil, dikhawatirkan kemampuan tempur inti justru tergerus. Padahal, dalam perang modern, kekuatan utama militer adalah kecepatan adaptasi terhadap teknologi, penguasaan sistem tempur presisi, dan kapabilitas dalam cyber defense dan artificial intelligence. Tidak ada waktu bagi prajurit untuk membajak sawah ketika ancaman datang dalam bentuk drone tempur atau disinformasi masif di dunia maya.
Rencana strategis pembentukan batalyon teritorial ini tentu patut diapresiasi dari sisi visi besar membangun ketahanan nasional menyeluruh. Namun, strategi tersebut harus ditempatkan dalam kerangka besar penguatan pertahanan, bukan sebagai substitusi kelembagaan kementerian teknis. Fungsi sipil harus tetap dijalankan oleh lembaga sipil. TNI cukup berperan sebagai mitra dalam konteks darurat, bukan aktor utama pembangunan.
Dalam perspektif geopolitik, pendekatan yang terlalu militeristik justru dapat menciptakan persepsi negatif dari komunitas internasional. Indonesia yang selama ini dikenal sebagai kekuatan regional berbasis demokrasi sipil, dapat dipandang mengarah pada model keamanan otoriter jika dominasi militer dalam urusan sipil tidak dikendalikan. Hal ini dapat berdampak pada kepercayaan investor, mitra internasional, dan kerja sama regional dalam konteks ASEAN Political-Security Community.
Menjadikan satu batalyon infanteri pembangunan di setiap kabupaten juga menimbulkan persoalan efisiensi anggaran dan urgensi strategis. Dengan total 514 kabupaten dan dua batalyon cadangan per kabupaten, jumlah personel dan alokasi sumber daya menjadi sangat besar. Dalam situasi fiskal yang terbatas, pertanyaan kritis adalah, apakah biaya sebesar itu akan berdampak lebih besar dibanding penguatan sistem pendidikan pertanian dan kesehatan sipil secara nasional?
Alih-alih melibatkan prajurit aktif dalam kerja-kerja sipil, lebih baik pemerintah mengembangkan Komponen Cadangan dan Komponen Pendukung sesuai amanat UU Pertahanan. Para pemuda yang berminat pada pertanian atau medis dapat dididik dalam skema bela negara berbasis keahlian sipil, bukan dijadikan Tamtama aktif. Dengan begitu, TNI tetap fokus pada penguatan tempur, sementara warga sipil tetap menjadi tulang punggung pembangunan.
Seiring dengan itu, perlu dikembangkan Batalyon Teknologi Tempur, bukan hanya batalyon pertanian. Era peperangan telah bergeser menuju ruang siber, AI, dan persenjataan pintar. Dunia sedang bergerak ke arah hypersonic missile, drone swarm, hingga electronic warfare. Indonesia harus menempatkan pertahanan di garis depan teknologi, bukan kembali ke skema pembangunan model semi-militer tahun 1980-an.