Kekalahan telak 0-6 yang diderita Tim Nasional Indonesia atas Jepang dalam lanjutan Kualifikasi Piala Dunia 2026 Zona Asia di Suita City Stadium, Osaka, Selasa 10 Juni 2025, bukan sekadar hasil pertandingan. Ini adalah cermin ketimpangan strategi pengembangan sepak bola antara dua negara yang dulunya adalah rival sengit di kawasan Asia. Jepang, yang kini menjadi tim langganan Piala Dunia, kembali menunjukkan kelasnya sebagai kekuatan utama sepak bola Asia. Indonesia, yang lolos ke babak keempat kualifikasi, justru dihadapkan pada realitas pelik. Dominasi Jepang bukan hanya soal teknis di lapangan, tapi hasil dari sistem pembinaan jangka panjang yang matang dan terintegrasi.
Dalam sejarah 17 kali pertemuan kedua negara, Indonesia pernah mengungguli Jepang, bahkan dengan kemenangan telak 7-0 pada Turnamen Merdeka 1968. Namun, sejak era profesionalisme dan modernisasi sepak bola bergulir di Jepang pasca-1990-an, grafik prestasi keduanya berbanding terbalik. Jepang tumbuh menjadi kekuatan global melalui J-League, kurikulum pelatihan usia muda yang sistematis, dan investasi besar di sport science. Sementara Indonesia baru memulai perjalanan panjang reformasi sistem sepak bolanya beberapa tahun terakhir.
Pertandingan akhir grup C kualifikasi Piala Dunia 2026 Zona Asia, menunjukkan dominasi penuh Jepang, dengan 71% penguasaan bola dan 21 tembakan. Bahkan, sebanyak 11 tembakan di antaranya tepat sasaran. Sebaliknya, Timnas Indonesia bahkan tidak mampu menciptakan satu pun peluang. Bukan berarti para pemain Garuda kurang kualitas, melainkan sistem yang menopang performa kolektif mereka belum sepadan dengan lawan. Absennya Rizky Ridho di lini belakang mengganggu keseimbangan formasi 3-4-3 Patrick Kluivert. Sementara ketidakmampuan lini tengah untuk menahan tekanan Jepang menunjukkan pentingnya memperkuat sektor transisi permainan.
Kekalahan bukan akhir dari segalanya, tapi awal dari sebuah kebangkitan. Saat Garuda jatuh, ia belajar terbang lebih tinggi, bukan karena sayapnya lebih kuat, tapi karena tekad seluruh bangsa menopangnya menuju langit yang lebih layak dibanggakan.
Namun, dari kekalahan ini, Indonesia justru berpeluang membangun ulang arah strategi pengembangan sepak bolanya. Lolos ke babak keempat Kualifikasi Piala Dunia 2026 adalah capaian signifikan yang harus ditindaklanjuti dengan revolusi struktural, bukan sekadar rotasi taktikal. Kita tidak bisa hanya mengandalkan naturalisasi dan pelatih asing tanpa menyentuh akar masalah: kurangnya sinergi antaraktor dalam ekosistem sepak bola nasional, lemahnya liga usia muda, dan tidak adanya pusat pengembangan berbasis data yang terintegrasi.
Belajar dari Jepang, penguatan infrastruktur pelatihan usia muda menjadi kunci. Sejak usia 10 tahun, anak-anak di Jepang sudah diasah dalam sistem akademi yang disiplin, berstandar tinggi, dan konsisten hingga level profesional. Di Indonesia, pembinaan usia muda kerap terhambat oleh ketidakteraturan kompetisi, politik daerah, dan minimnya insentif bagi pelatih-pelatih lokal untuk berkembang. Maka, dibutuhkan regulasi dan insentif khusus dari PSSI dan pemerintah agar pembinaan usia muda tidak lagi sekadar retorika.
Pelatih Patrick Kluivert telah membawa nuansa baru dalam pendekatan taktis dan psikologis, namun ia membutuhkan dukungan sistem yang kuat. Jika PSSI dan stakeholder sepak bola tidak segera membangun football performance ecosystem yang terukur, sebagaimana mencakup sport science, data analytics, dan recovery management, maka bakat-bakat lokal seperti Rizky Ridho, Pratama Arkhan, Witan Sulaiman, dan Egy Maulana Fikri akan terus tenggelam bekerja sendiri tanpa fondasi yang kokoh. Terkalahkan jalan pintas naturalisasi yang belum tentu lebih unggul secara optimal.
Jepang adalah contoh bagaimana sebuah negara bisa memproyeksikan sepak bola sebagai alat diplomasi dan kekuatan lunak bangsa. Indonesia pun harus mengarah ke sana. Turnamen internasional seperti Garuda Cup atau program kerja sama akademi dengan klub-klub Eropa harus diintensifkan untuk memberikan eksposur global bagi talenta lokal. Selain itu, pembentukan National Football Training Center yang modern dan terstandar FIFA harus menjadi prioritas APBN dalam kerangka pembangunan sport nasional.
Secara manajerial, klub-klub Liga 1 juga perlu diberi mandat untuk membina minimal dua akademi usia muda yang berafiliasi resmi dan wajib menyalurkan pemainnya ke timnas kelompok umur. Tanpa keterlibatan aktif klub dalam ekosistem pembinaan, Timnas akan selalu kekurangan player pool berkualitas untuk tampil di level Asia.
Kekalahan dari Jepang ini juga menjadi alarm untuk memperkuat kolaborasi antara federasi, akademisi olahraga, dan pelaku industri sepak bola. Dibutuhkan satu badan teknis yang fokus mengawal cetak biru sepak bola nasional hingga 2040. Indonesia tidak bisa terus berada dalam siklus "mendadak prestasi" dan harus berani membangun sistem yang sustainable. Kekalahan ini menyakitkan, namun harus menjadi titik balik perencanaan jangka panjang berbasis sains, bukan sekadar harapan instan.
epang pernah dikalahkan 7-0, kini mereka menari di pentas dunia. Indonesia pun bisa, asal berani bermimpi, membangun sistem, dan menyatukan tekad. Sepak bola bukan sekadar permainan, tapi cermin peradaban bangsa yang siap maju.