Di bawah langit senja yang memerah di Jepara, setiap tahun pada Senin Pahing malam Selasa Pon di bulan Dzulhijjah, Desa Tegalsambi menyala oleh kobaran api yang bukan sekadar nyala fisik, tetapi pancaran dari tradisi sakral yang telah diwariskan lintas generasi: Perang Obor. Pada tahun 2025 ini, momen tersebut jatuh pada 9 Juni, menjadi panggung spiritual dan budaya yang memancarkan makna mendalam bagi masyarakat agraris di pesisir utara Jawa Tengah ini.
Perang Obor bukan sekadar atraksi ekstrem yang menggugah adrenalin. Ia adalah warisan budaya tak benda yang dirawat penuh khidmat oleh masyarakat Tegalsambi. Dalam ritual ini, dua kelompok pemuda bertarung secara simbolik menggunakan obor---yang dirangkai dari pelepah kelapa kering dan batang pisang, sebagai senjata utama. Bara api menari-nari di udara, menyambar tubuh dan tanah, namun tak ada ketakutan di mata para pelakunya. Justru, ada kepercayaan kuat bahwa kekuatan leluhur dan energi magis melindungi mereka dari luka serius.
Tradisi ini berlangsung bersamaan dengan prosesi sedekah bumi, ritual syukur atas limpahan hasil tani dan berkah kehidupan yang diberikan oleh alam dan leluhur. Dalam pendekatan antropologi pedesaan, Perang Obor adalah representasi dari sistem nilai kosmologis masyarakat Nusantara, yaitu keseimbangan antara manusia, alam, dan dimensi spiritual. Api bukan hanya alat pertarungan, tetapi simbol pembersihan dari bala dan energi negatif yang mengancam harmoni komunitas.
Sebagai bagian dari siklus ritus agraris, Perang Obor tidak berdiri sendiri. Prosesi dimulai 35 hari sebelum malam pelaksanaan. Rangkaian ini diawali dari barikan atau ziarah ke makam leluhur, yang merupakan pengakuan akan asal-usul dan peran penting nenek moyang sebagai penjaga spiritual desa. Ziarah ini menghubungkan dimensi waktu, mengaitkan masa kini dengan masa lalu dalam semangat kebersamaan.
Dalam kobaran obor Tegalsambi, kita tak hanya melihat api, tetapi menyaksikan keberanian, syukur, dan cinta tanah leluhur yang menyala dari generasi ke generasi. Tradisi bukan sekadar masa lalu yang dikenang, melainkan cahaya masa depan yang dijaga bersama.
Selanjutnya, warga menggelar selametan sebagai bentuk permufakatan kolektif untuk memohon keselamatan dan kelancaran rangkaian upacara. Di sini terlihat bahwa tradisi bukanlah sekadar warisan mati, melainkan perangkat sosial yang hidup, menjadi ruang rekonsiliasi, musyawarah, dan perkuatan ikatan sosial dalam masyarakat pedesaan.
Wayangan menjadi bagian integral dari rangkaian ini, menyajikan kisah-kisah pewayangan yang sarat pesan moral dan spiritual. Melalui medium seni tradisional ini, nilai-nilai tentang keberanian, kesetiaan, dan pengabdian pada komunitas diinternalisasi generasi muda. Ini bukan sekadar hiburan, tetapi ruang edukasi budaya dan penyemaian karakter dalam konteks lokal.
Sedekah bumi sendiri merupakan puncak dari rasa syukur kolektif. Hasil bumi dipersembahkan dalam bentuk ubarampe kepada alam dan para leluhur, sebagai simbol bahwa segala sesuatu yang dipanen bukan semata karena jerih payah manusia, melainkan juga campur tangan kekuatan kosmis. Di sinilah masyarakat Tegalsambi meneguhkan falsafah hidup mereka: hidup harmonis, gotong royong, dan sadar batas antara manusia dan semesta.
Barulah setelah semua rangkaian itu selesai, Perang Obor dilangsungkan di alun-alun desa dengan penuh khidmat namun meriah. Setiap pemuda yang terlibat bukan sekadar bertarung untuk menang, melainkan menunjukkan keberanian, kesiapan lahir batin, dan komitmen untuk menjaga marwah desa. Mereka tidak bertarung sebagai individu, tetapi sebagai representasi kolektif yang membela harmoni kampung halaman dari segala bentuk ancaman simbolik.
Dari sudut pandang antropologi budaya, ritual ini merupakan rites of passage sekaligus communitas dalam istilah Victor Turner. Para pemuda mengalami fase liminal, di mana mereka diuji secara sosial dan spiritual sebelum diterima sebagai anggota penuh komunitas dewasa. Dalam proses ini, solidaritas sosial diperkuat, batas antara pribadi dan komunitas dilarutkan oleh nyala api simbolik.
Meski terlihat berbahaya, masyarakat percaya bahwa mereka berada dalam lindungan kekuatan spiritual desa. Kepercayaan ini tidak semata takhayul, tetapi bentuk kelekatan terhadap kosmologi lokal yang memaknai tubuh bukan sekadar benda biologis, melainkan wadah nilai dan ritus. Keyakinan ini pula yang membuat tradisi ini terus lestari meski zaman berubah cepat.