Kartini barangkali tak membayangkan bahwa lebih seabad setelah surat-suratnya dikirim ke Belanda, tanah kelahirannya justru melupakan semangat yang ia kobarkan. Jepara, kota kelahiran sang pelopor emansipasi perempuan, kini berdiri dalam bayang-bayang pabrik garmen yang menyerap ribuan tenaga kerja perempuan muda. Sayangnya, bukan kemerdekaan yang mereka dapatkan, tetapi kemungkinan baru atas keterjajahan dalam bentuk yang lebih modern, yaitu upah murah, kerja berlebihan, dan ruang hidup yang menyempit.
Dulu, Kartini menggugat. Hari ini, para perempuan muda Jepara lebih memilih diam. Bukan karena mereka tak sadar, tapi karena sistem ekonomi menempatkan mereka dalam ketergantungan yang akut. Mereka bekerja sejak pagi hingga malam, menggerakkan jarum dan benang bukan demi cita-cita, melainkan sekadar bertahan hidup.
Ironi ini menganga makin lebar ketika kita menyaksikan lonjakan angka perceraian di Jepara yang didominasi oleh pengajuan dari pihak perempuan. Di balik status "mandiri" karena memiliki penghasilan, banyak perempuan muda mengalami beban ganda yang tak tertanggungkan: menjadi buruh sekaligus ibu rumah tangga, tanpa waktu untuk jiwa sendiri.
Diskusi reflektif antara Keluarga Mahasiswa Jepara Semarang (KMJS) dan Keluarga Mahasiswa Rembang Semarang (Kamaresa) di Landmark UIN Walisongo, Selasa, 22 April lalu, membuka luka lama yang belum pernah benar-benar diobati. Mahasiswa menggali kembali akar-akar historis emansipasi yang telah ditanam Kartini sejak abad ke-19.
Dr. Khamdan selaku pemateri menyuguhkan perspektif sejarah yang menohok. Usai Perang Diponegoro 1825-1830, kolonialisme Belanda memberlakukan "pingitan" terhadap perempuan Jawa sejak masa haid. Perempuan tak lagi diizinkan menempuh pendidikan, bahkan dijauhkan dari ruang publik. Kartini muncul sebagai pemberontak dalam sunyi---melawan kolonialisme, feodalisme, dan patriarki dalam satu waktu.
Namun kini, semangat itu seolah tercerabut. Budaya urban yang menggerus batas desa-kota telah mengubah lanskap sosial Jepara. Kampung-kampung berubah menjadi kos-kosan pekerja pabrik. Nilai kolektif, gotong royong, dan pendidikan perempuan perlahan dikalahkan oleh tuntutan produktivitas dan daya saing upah rendah.
Jika dulu Kartini mengirim surat ke Belanda untuk memperjuangkan akses pendidikan, kini para perempuan Jepara mengirim lamaran kerja ke pabrik-pabrik. Pendidikan dianggap mahal, tidak praktis, dan tidak menjanjikan pekerjaan cepat. Sementara upah pabrik, meski minim, dianggap solusi instan bagi keluarga-keluarga petani yang kehilangan lahan karena alih fungsi menjadi kawasan industri.
Kartini memperjuangkan cahaya pendidikan bagi perempuan. Tapi hari ini, ribuan perempuan Jepara justru menanggalkan harapan itu demi gaji pabrik yang tak seberapa, menukar buku dengan mesin, dan menggadaikan masa depan demi upah yang tak menjamin martabat.
Situasi ini bukan hanya menempatkan perempuan sebagai buruh. Mereka juga menjadi target eksploitasi sistemik: minim perlindungan hukum, rawan pelecehan, dan tanpa jaminan kesejahteraan jangka panjang. Lebih tragis lagi, mereka jauh dari gagasan Kartini tentang pendidikan sebagai jalan pembebasan.
Mahasiswa peserta diskusi pun menyuarakan kegelisahan kolektif. Yusrul Rizannul Muna dari KMJS dan Najih Fawaid dari Kamaresa menyinggung potensi hancurnya sektor ekonomi kreatif lokal, terutama industri ukir Jepara. Hal itu dikarenakan generasi mudanya lebih tertarik bekerja di pabrik. Tradisi ukir yang diwariskan turun-temurun kini kekurangan penerus. Sektor kerajinan yang sarat nilai budaya dan identitas justru tersisih oleh pekerjaan seragam dan target produksi. Padahal ukiran Jepara bukan sekadar komoditas, tapi juga ekspresi kebudayaan dan narasi identitas lokal yang berharga.
Masalah tak berhenti di situ. Urbanisasi para buruh perempuan dari luar daerah menambah kompleksitas sosial. Muncul patologi sosial, seperti kehamilan di luar nikah, penyakit menular seksual, hingga kasus pembuangan bayi. Kota yang dulu melahirkan perempuan pemikir kini menghadapi krisis moral dan sosial yang pelik.