Lihat ke Halaman Asli

Hoaks sebagai Gejala Relativisme

Diperbarui: 30 Januari 2019   01:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mereka yang kita anggap suka menyebarkan berita hoax ternyata berpikir sebaliknya. Bahwa justru kalangan yang menganggap mereka suka menyebarkan berita hoax adalah mereka yang terkena pengaruh hoax. Mereka yakin bahwa 10 juta tenaga kerja ilegal asal Cina bukan hoax, bahwa kebangkitan komunisme baru bukan hoax, bahwa sembilan naga berada di balik Ahok bukan hoax, dan seterusnya.

Lingkaran setan relativisme ini sungguh gawat. Kebenaran tidak lagi merupakan sesuatu yang berada di luar diri, tetapi di dalamnya. Kebenaran menjadi sangat subjektif; kebenaran menurutku, menurut kelompokku, menurut masyarakatku, dan seterusnya. Singkat kata, kebenaran menjadi sama dengan keyakinan.

Paham relativisme ini tidak selalu lahir dari keyakinan agama, tetapi berkembang pula di tengah ragam pemikiran sekuler. Nasionalisme, sebagai contoh, juga mengandung aspek ini; yakni bahwa kebenaran a la nasionalis adalah kebenaran menurut negaraku dan bangsaku. 

Belakangan beberapa aliran radikal dalam filsafat posmodernisme pun mempunyai kecenderungan yang sama; seolah tidak ada kebenaran tunggal, sebab semuanya adalah soal sudut pandang.

Relativisme tentu saja tidak selamanya buruk. Ia membantu kita membongkar kepalsuan beberapa klaim kebenaran universal. Ia juga bisa menyimpan risiko.

Setelah menghancurkan benteng-benteng besar kemanusiaan, ia malah membangun ulang benteng-benteng kecil politik identitas--agama, ras, etnis, gender..

HOAX hanya gejala. Penyakitnya adalah hilangnya kemampuan untuk menguji data, skeptisisme dan ketidakmampuan berpikir kritis.

-David Kushner-




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline