Riuh polemik RUU TNI telah menjadi perhatian utama, meski tidak seluruh kalangan masyarakat Indonesia. Di satu sisi, kaum intelektual muda dalam hal ini mahasiswa adalah yang paling frontal, terdepan memprotes untuk mengganggu agar RUU TNI ini agar tidak menjadi aspek legal formal memberi jalan TNI masuk lebih jauh ke dalam sendi-sendi bernegara. Kembali ke barak adalah tagline perjuangan dalam berbagai aksi agar RUU TNI ini urung terjadi, dan negara tetap dalam kondisi Demokrasi saat ini. Peristiwa sejarah menjadi elemen pertimbangan utama, manakala RUU TNI ini mengingatkan kembali terhadap trauma Dwifungsi Abri era sebelum Reformasi. Kebebasan berpendapat adalah suatu hal tabu, ditengah kondisi kekuasaan yang penuh dengan korupsi dan kolusi. Meski demikian, apakah mahasiswa sudah hidup di zaman ini?
Di sisi lain, reformasi sudah berjalan 25 tahun lebih. Korupsi dan kolusi masih belum teratasi, bahkan semakin eksponen dan mengakselerasi. Di era ini, slogan ''enak zaman ku to'' dengan gambar wajah Soeharto masih banyak terpampang, bukan pada banner/pamflet/slogan pergerakan mahasiswa, tapi terdapat dibeberapa tembok-tembok pemukiman padat penduduk. Lebih banyak lagi slogan ini terpampang pada hiasan belakang truk pengangkut sayur dan pasir. Hal ini tentu bukan tanpa alasan. Ini adalah refleksi dari rakyat yang hidup di zaman itu, yang menginginkan hajat hidup terpenuhi. Jika bicara tentang data kesejahteraan pada setiap kekuasaan, mungkin ini akan membuka perdebatan panjang. Namun, slogan tadi rasanya adalah bentuk rakyat dengan kejujurannya dengan sepenuh hati.
Saya bukanlah orang pro ataupun kontra terhadap RUU TNI yang dianggap sebagai Dwifungsi Abri saat ini. Saya tidak hidup di zaman itu. Tulisan ini juga bukan untuk kontra produktif terhadap isu hari ini. Pikiran saya berkembang mempertanyakan tentang reformasi dalam wadah demokrasi model hari ini, apakah kesejateraan rakyat adalah orientasi.
Kebebasan berpendapat dengan mekanisme formal dan non formal dibuka selebar-lebarnya, namun membuka para bandit dan bajingan untuk berkuasa di negeri ini. Mengotak-atik sektor vital hajat hidup rakyat, menjadi oligarki-oligarki dari yang besar sampai yang mini. Rakyat dijadikan komoditas pada perayaan demokrasi. Tangis kemiskinan dan ratapan kelaparan dijadikan alat untuk mendulang suara, tanpa disertai adanya ide dan gagasan yang matang. Setelah berkuasa, rakyat tidak menjadi orientasi, yang ada hanya kekuasaan dan kekayaan.
Kemudian, isu-isu demokrasi dijadikan alat para oknum calon bandit dan bajingan (Mahasiswa) meniti karir menuju kekuasaan. Tidak ada idealisme saat dihadapkan dengan tawaran harta dan kekuasaan. Aktivisme menjadi portofolio mencapat karir hebat tanpa harus membuat surat lamaran kerja. Darah demonstrasi mungkin akan dimanfaatkan menjadi bukti pengalaman kerja saat bertemu penguasan. Maaf sangat sarkas dan cukup menggeneralisir, tapi ini refleksi kekecewaan karna ketiadaan idealisme hari ini.
Betulah kata Tan Malaka, "Idealisme menjadi kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh seorang pemuda/Mahasiswa". Masih adakah kemewahan hari ini?
Kembali ke RUU TNI, pengesahan RUU ini apakah ini adalah penglihatan pengusasa terhadap kondisi ini? Jika RUU TNI adalah ketakutan, apakah ketakutan adalah sebuah strategi? Dalam "The Prince", Niccolo Machiavelli membahas tentang hubungan antara pemimpin dan rakyatnya. Dia menyatakan bahwa seorang pemimpin harus dicintai dan ditakuti, tetapi jika harus memilih, lebih baik untuk ditakuti daripada dicintai.
Kebencian dari rakyat ini adalah sebuah pengorbanan dari penguasa hari ini? Apakah presiden adalah sang patriot sejati?
Wallhu a'lam bisshowab
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI