Saya menyelesaikan studi sarjana dalam tiga setengah tahun atau tujuh semester, dan itu cukup untuk memperoleh predikat lulusan tercepat dan terbaik se-fakultas. Namun, jika menghitung skripsi saja, saya sebenarnya sudah menyelesaikannya pada semester enam; saya menunda sidang akhir selama empat bulan demi memfokuskan diri pada proyek penelitian bersama dosen saya. Yang paling penting, saya tidak punya ambisi untuk buru-buru lulus.
Hingga hari ini, teman seangkatan maupun adik tingkat masih sering menanyakan “rahasia” saya. Namun, jawaban saya biasanya mengecewakan: tidak ada rahasia. Kalaupun ada, saya tidak tertarik untuk membocorkannya.
Itu juga bukan berarti saya seorang superman, atau saya memaksa diri lebih keras dari orang lain. Saya pikir kenyataannya jauh lebih sederhana, klise, dan membosankan. Bukan sesuatu yang layak dipajang sebagai poster motivasi.
Jawaban saya adalah manajemen waktu.
Yang saya maksud bukan dalam pengertian guru-guru produktivitas, yang membuat orang direcoki jadwal kaku, kalender penuh warna, dan rangkaian target melelahkan. Manajemen waktu bukan tentang memeras setiap tetes dari hari kita, bukan pula tentang memadatkan sebanyak mungkin tugas dalam satu hari. Bahkan jika berhasil, metode semacam itu jarang bertahan lama. Dalam jangka tertentu, orang akan sampai pada batasnya.
Manajemen waktu yang baik, menurut saya, justru mengakui batasan tersebut. Itu tentang membangun ritme yang tepat dengan diri sendiri. Tentang memahami kapan tangki energi saya paling penuh, kapan fokus saya paling tajam, dan bagaimana menyelaraskan tugas terpenting dengan pola tersebut. Tentang rutinitas yang membuat saya ingin kembali besok. Tentang kebiasaan yang tidak butuh banyak willpower untuk dijalankan dari hari ke hari.
Mari saya jelaskan.
Saya memisahkan apa yang penting dari hal-hal mendesak. Hal penting biasanya signifikan dan jangka panjang, terkadang tanpa deadline tetapi sifatnya menentukan. Hal mendesak bukan berarti tidak penting, bahkan sering kali tergolong kewajiban, hanya saja bersifat jangka pendek dan terikat deadline. Bagi saya saat itu, menulis skripsi adalah hal penting; mengikuti kelas, mengerjakan tugas, menulis artikel populer, dan kerja kelompok adalah hal mendesak.
Hampir setiap hari saya menghadapi konflik antara apa yang paling mendesak dan apa yang paling penting. Keberhasilan berarti memfokuskan jam terbaik saya pada hal penting, alih-alih membiarkan hal-hal mendesak melahap semuanya. Jika saya selalu mendahulukan hal-hal mendesak, saya tidak akan sempat melakukan apa yang penting, atau setidaknya tidak cukup.
Bagaimana tepatnya?