Lihat ke Halaman Asli

Sejarah Dalam Bayang Kekuasaan : Ketika Fakta Dibentuk Oleh Politik

Diperbarui: 8 Juli 2025   00:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 ( Sumber : Geotimes )

 

Sejarah seharusnya menjadi jendela kebenaran, cermin masa lalu yang memandu masa depan. Namun, dalam praktiknya di Indonesia, sejarah kerap kali ditulis ulang bukan untuk memperluas kesadaran kolektif, melainkan untuk membatasi pengetahuan masyarakat. Penulisan ulang sejarah seringkali tidak berangkat dari upaya ilmiah, melainkan dari kepentingan politik yang ingin membentuk narasi tunggal, menghapus jejak perlawanan, dan meneguhkan legitimasi kekuasaan. Kritik terhadap praktik ini perlu disuarakan, sebab sejarah yang dipolitisasi adalah bentuk manipulasi yang berbahaya.

Sejarah: Antara Fakta dan Narasi

Pada hakikatnya, sejarah tidak hanya sekadar kumpulan fakta masa lalu. Ia adalah konstruksi yang dibentuk melalui pemilihan peristiwa, penafsiran, dan penyusunan narasi. Di titik inilah politik masuk. Ketika negara atau penguasa memiliki kontrol terhadap pendidikan dan media, maka narasi sejarah yang beredar di masyarakat bisa menjadi sangat selektif. Yang ditampilkan adalah kepingan-kepingan masa lalu yang menguntungkan, sementara bagian lain disembunyikan, dipelintir, bahkan dihapus.

Contoh paling nyata adalah narasi sejarah Indonesia pasca-1965. Dalam kurikulum sejarah nasional selama puluhan tahun, peristiwa G30S selalu dikisahkan sebagai pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang brutal, dan rezim Orde Baru kemudian muncul sebagai penyelamat bangsa. Narasi ini dikuatkan melalui buku-buku pelajaran, film, dan media massa. Namun, kenyataan yang lebih kompleks seperti pembantaian massal yang menewaskan lebih dari 500.000 jiwa, peran militer, dan dinamika politik saat itu dihilangkan dari wacana publik.

 ( Sumber : Merdeka.com )

Penulisan Ulang: Kepentingan Siapa?

Ketika penguasa berganti, narasi sejarah pun ikut berubah. Reformasi 1998 membuka sebagian keran diskusi kritis, namun tidak membongkar total warisan sejarah versi Orde Baru. Bahkan, dalam beberapa tahun terakhir, ada gejala kembalinya upaya rekonstruksi sejarah yang melayani kekuasaan. Penulisan ulang sejarah dilakukan bukan untuk melengkapi fakta, melainkan untuk menggiring opini, menciptakan musuh bersama, dan mensterilkan memori kolektif dari peristiwa-peristiwa yang dianggap "mengganggu stabilitas".

Penulisan ulang sejarah menjadi alat untuk membatasi akses masyarakat terhadap kebenaran. Di sekolah-sekolah, siswa masih dijejali buku pelajaran sejarah yang mengandung bias ideologis. Diskusi tentang tokoh-tokoh seperti Tan Malaka, Sutan Sjahrir, atau bahkan sejarah gerakan buruh dan petani sering kali dibungkam atau tidak diajarkan secara utuh. Padahal mereka adalah bagian penting dari sejarah Indonesia yang memperjuangkan kemerdekaan dan keadilan sosial.

Politik Ingatan: Mengatur Apa yang Boleh Diingat

Michel Foucault menyebut bahwa kekuasaan tidak hanya bekerja lewat kekerasan fisik, tapi juga melalui wacana dan pengetahuan. Dalam konteks sejarah, kekuasaan bekerja melalui apa yang disebut "politik ingatan" yakni kebijakan untuk mengatur apa yang boleh dan tidak boleh diingat oleh masyarakat. Negara, melalui kurikulum dan lembaga pendidikan, menentukan siapa yang menjadi pahlawan dan siapa yang menjadi pengkhianat. Ini bukan semata-mata soal interpretasi, tapi juga bentuk kekuasaan yang memonopoli kebenaran.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline