Lihat ke Halaman Asli

Bara Tirta Bumi dan Angin

Diperbarui: 6 Agustus 2025   20:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Gemini Ai

     Jalur pendakian di lereng Gunung Cakra dimulai dengan sebuah sungai kecil yang membelah hutan. Angin sepoi-sepoi yang lembut mengibas daun-daun, memecah kesunyian yang diselingi oleh langkah kaki empat orang yang baru saja memulai perjalanan. Mereka adalah Bara, Tirta, Bumi, dan Angin.
Bara, dengan jaket merah menyalanya, berjalan paling depan, semangatnya membara seperti nama yang disandangnya. "Jalurnya mulus begini, kita bisa sampai di puncak sebelum matahari terbenam," ujarnya penuh percaya diri, langkahnya cepat dan tak sabtu.
"Jangan terburu-buru, Bara," sahut Bumi, yang berjalan di belakangnya, membawa tas punggung paling berat. "Jalur gunung itu seperti kehidupan, semakin kita terburu-buru, semakin besar kemungkinan kita tersandung." Suaranya tenang, kata-katanya penuh kehati-hatian.
Tirta, yang berjalan di antara mereka, mengangguk setuju. "Kita harus merasakan setiap momen, bukan hanya terburu-buru untuk mencapai tujuan," katanya lembut, menunjuk ke sebuah bunga hutan yang mekar di pinggir jalur. "Lihat, indahnya."
"Indah sih indah," celetuk Angin, yang berjalan di paling belakang, sesekali berhenti untuk mencatat sesuatu di buku catatannya. "Tapi keindahan itu cuma persepsi. Apa yang kita cari di puncak, itu yang jauh lebih penting. Tujuan kita lebih dari sekadar pemandangan, 'kan?"
Dialog pertama mereka di jalur pendakian itu langsung menunjukkan perbedaan mendasar mereka. Bara melihat perjalanan ini sebagai perlombaan, Bumi sebagai sebuah proses yang harus dihormati, Tirta sebagai sebuah pengalaman yang harus dirasakan, dan Angin sebagai sebuah ide yang harus dipahami.
Di tengah perjalanan, mereka menemukan sebuah jembatan gantung tua yang terlihat rapuh di atas jurang yang dalam. Tirta, dengan instingnya, merasa tidak enak. "Aku rasa kita harus mencari jalur lain," bisiknya. "Jembatan ini terasa tidak stabil."
"Hanya karena perasaan?" Bara tertawa meremehkan. "Lihat, kayunya masih kokoh. Aku sudah cek. Kalau kita tidak lewat sini, kita akan memutar jalan lebih dari tiga jam."
"Tirta benar," sela Bumi. "Secara logis, jembatan ini terlalu tua. Kayunya sudah lapuk. Mencegah sesuatu yang buruk terjadi adalah hal paling logis yang bisa kita lakukan."
"Mencegah? Bagaimana kalau risiko ini justru bagian dari pelajaran yang kita cari?" Angin menyahut, matanya berbinar. "Mungkin, untuk menemukan keseimbangan, kita harus menantang batasan-batasan kita. Apa arti dari perjuangan kalau semuanya aman?"
Mereka akhirnya memutuskan untuk mengambil jalan memutar. Perjalanan itu membuat Bara frustrasi, Bumi khawatir, Tirta sedih karena teman-temannya bertengkar, dan Angin gembira karena idenya terbukti benar.
Ketika mereka akhirnya mencapai puncak, matahari sudah terbenam. Pemandangan di sana tidak ada. Hanya ada kabut tebal yang menyelimuti segalanya. Bara mengumpat, merasa usahanya sia-sia. Bumi terdiam, menerima kenyataan. Tirta menangis, merasakan kekecewaan yang dalam. Angin, di sisi lain, tertawa kecil.
"Kita tidak mencari pemandangan, 'kan?" katanya, memecah keheningan. "Kita mencari keseimbangan. Kabut ini, ini bukan akhir. Ini permulaan. Kita tidak melihat apa-apa karena kita masih terperangkap dalam apa yang kita harapkan. Keseimbangan bukan tentang menemukan sesuatu, melainkan tentang menerima apa pun yang ada."
Bara menoleh ke Tirta, menyeka air mata wanita itu. "Mungkin kamu benar," katanya, suaranya tidak lagi tajam. "Aku terlalu fokus pada tujuan, sampai melupakan perjalanan ini."
Bumi tersenyum tipis. "Kabut ini mengingatkanku bahwa tidak semua hal bisa diatur atau diprediksi," katanya. "Ada kalanya kita hanya perlu berhenti dan merasakannya."
Mereka berempat duduk di sana, dalam keheningan. Bukan keheningan yang canggung, melainkan keheningan yang penuh makna. Keheningan yang membuat mereka menyadari bahwa setiap elemen dalam diri mereka api yang ambisius, air yang empatik, tanah yang logis, dan udara yang idealis adalah bagian dari sebuah kesatuan. Keseimbangan yang mereka cari bukanlah sesuatu yang bisa ditemukan di puncak gunung, melainkan sesuatu yang mereka ciptakan bersama dalam perjalanan mereka.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline