Lihat ke Halaman Asli

Momon Sudarma

Penggiat Geografi Manusia

Teknik Memarahi In-situ atau Ex-situ

Diperbarui: 3 Maret 2024   09:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kepekaan Ruang Kemarahan (sumber: pribadi, bing.com) 

"kenapa mengalah?" ucap seorang lelaki muda, saat melihat teman dekatnya, berhenti bicara dengan lawan bicara di tengah lapang. "dikira akan terus bertahan, eh, malah berhenti...." ungkapnya lagi, dengan nada, sedikit nyinyir melihat kelakuan temannya ini. Dalam pandangannya, orang yang ada di depannya itu, dianggap sebagai orang yang sarat dengan argument, namun kini, mengalah di depan anak - belia yang ada di hadapannya.

Saat itu, konteksnya, adalah ada perdebatan, antara teman sang lelaki itu, yang juga adalah guru di sekolah itu, dengan seorang pengurus OSIS di sekolahnya. Perdebatannya, hanya soal susunan acara dalam kegiatan OSIS. Perdebatan terbilang sengit, dihadapan peserta upacara. Orang yang berdebat, tidak kurang dari 4 orang. 

Seorang guru senior, tiga orang siswa dari panitia. Mereka melakukan perdebatan sengit, mengenai susunan acara pembukaan. Boleh ditukar-waktu, atau tidak. Susunan acara memang sudah di susun, namun, situasi menuntut ada pemikiran baru. Pasalnya, tokoh yang ditunggu belum menunjukkan adanya pasti jam kedatangan ke lokasi kegiatan, sementara peserta upacara sudah hampir 1 jam lebih berbaris di lapangan. 

Di lain pihak, rangkaian acara lainnya, menunggu kepastian. Terbayang sudah, bila telat memulai, maka keterselesaiannya kegiatan itu, bisa larut malam. Sementara, peserta lomba, ada anak dibawah usia dengan lokasi rumah yang cukup jauh dari lokasi pelaksanaan perlombaan. Maka wacana, tukar susunan menjadi tema debat saat itu. 

Hemat kata, perdebatan panjang, memakan waktu lebih dari 15 menitan, dialog di tengah lapangan. Bisa jadi sejumlah waktu itu, tidak cukup untuk saling meyakinkan mengenai pentingnya fleksibilitas acara dengan ketaatan pada susunan acara. Namun, karena melihat situasi, sang guru yang mengalah, "ya, sudah, silahkan, laksanakan sesuai acara.." ungkapnya, sambil menghindar dari kerumunan itu. Situasi inilah, yang kemudian dinilai oleh sang lelaku muda itu, diposisikan sebagai sikap yang mengalah.

-o0o-

Aura emosi tinggi. Bukan hanya pada guru tersebut.  Tetapi juga pada wajah-wajah panitia. Mereka menyandarkan diri pada petuah pelatihnya, bahwa acara harus dilakukan sesuai dengan susunan acara yang baku, yang sudah disepakati sebelumnya. Sehingga, dengan sedemikian rupa usaha, mereka bertahan. Sayangnya, si pelatih tidak ada di lokasi. 

Sementara pihak guru, melihat situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan untuk menunggu dalam waktu yang lama, sementara kekosongan acara dibiarkan tidak bermakna. Inilah situasinya.

Pertanyaan krusialnya, bolehkan kita memarahi seseorang di depan orang lain yang mungkin jadi tidak paham masalah, tidak mengerti masalah atau tidak ada kaitannya dengan masalah yang kita bicarakan?

Dalam platform media sosial, kadang disuguhi konflik personal antara laki dan perempuan. Marahan di depan mall di sebuah perkotaan. Sementara, di kanan kirinya, banyak lalulalang orang dengan maksud dan tujuan masing-masing. Atau, dalam kasus lain, ada seorang pejabat negara marah-marah ke bawahannya, kemudian direkam oleh pihak lain. Sementara pegawai lainnya, bengong melihat situasi itu. Sang pejabat dengan gagah dan kuasanya, marah kepada bawahannya.

Apa yang terjadi dengan kejadian seperti itu?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline